LEBARAN TANPA MUDIK

Biasanya di hari hari terakhir Ramadhan ini ... kami sekeluarga sudah disibukkan dengan persiapan persiapan menuju rumah kakek neneknya anak-anak kami. Ke tetangga pulau Jawa. 

Kurun waktu 10 tahunan kami terbiasa untuk mudik memesan tiket Bus malam.  Cukup simple perjalanan darat yang  jauh cukup naik sekali, turun sudah di pool tanjung karang, Kalianda. Dan sudah di jemput oleh keluarga disana.

Terkadang kami juga mencoba moda transportasi lain, seperti pesawat itupun saat kita hunting harga pesawat dalam kurun waktu yang lama, sebab bisa dipastikan membeli tiket menjelang hari raya harganya pasti melambung naik 2 bahkan 3 kali lipat.

Setahun kemarin kami mencoba menggunakan mobil sendiri, merasakan jalan tol baru yang menyambungkan ujung timur jawa sampai trans sumatra. 

Sayangnya sampai pintu tol Jawa Tengah kami tidak bisa melanjutkan perjalanan lewat tol karena seluruh ruas tol di peruntukkan pengendara ke timur semua. Sehingga kami turun jalan tol ke jalan biasa. 

Untuk kami yang baru pertama mudik dengan mobil dan hanya berlima, Suami, saya dan 3 anak kami, ini merupakan hal yang amat menegangkan. Betapa tidak, kami belum pernah melakukan perjalanan jauh hanya satu keluarga memakai kendaraan. Dengan anak ketiga yang masih balita, belum tahu jalan,  bergantian menyetir mobil dan terus fokus kepada google map sebagai penunjuk arah kami. 
Menjadi second driver saat Driver utamanya kelelahan

Saat lelah kami beristirahat di SPBU, Saat itu anak anak tidak mau membatalkan puasa, meskipun ada kelonggaran untuk yang perjalanan jauh bisa mengganti di hari lain setelah ramadhan usai, anakku kelas 5 dan kelas 2  tidak mau mokel, mereka tetap mau berpuasa, saya salut dengan semangat mereka.

Menyebrang selat memakai perahu ekslusif, sedikit mengurangi lelah kami. Biasanya berdesakan di perahu ekonomi dengan suasana panas, kali ini kami lumayan merasakan kenyamanan di ruangan ber AC dan tidak banyak berdesakan. dan tentu saja suasana yang cerah di tengah lautan sangat sayang apabila tidak di abadikan dengan swa foto.
Sampai di Pelabuhan Bakaheuni kami hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai di rumah. Raut kebahagiaan jelas tampak dari muka suami dan anak2 bertemu orang tua yang ada di Lampung. Kelelahan kami impas dengan riang gembira dan bahagianya mereka ditengah keluarga yang telah di rindukan. 

Ketika di umumkan kebijakan lockdown dan tidak diperbolehkan mudik. Terbayang keluarga suami yang di Lampung. Setahun kami tidak bisa bertemu dengan orang tua yang telah menuju usia senja di sana. tak bertemu Pak de,  bude dan keponakan yang tinggal di Sai bumi Ruwa Jurai. lebaran dengan mudik ke kampung halaman sudah menjadi bagian dari kehidupan tahunan kami. Mempererat tali sillaturrahmi dan melepas kangen dengan keluarga besar yang telah lama tidak bertemu. Riang dan Gembira terlihat nyata saat berkumpul dengan mereka semua.

Tetiba tradisi ini dirampas paksa, tidak boleh mudik demi menjaga virus tidak tersebar. Diam di rumah menjadi pilihan paksa untuk warga. Pertentangan batin lah yang kemudian terjadi. Antara keinginan sungkem dengan kedua orang tua. dan harus tunduk dan patuh dengan peraturan.

Ada rasa yang mengharu biru saat membayang kerinduan dengan keluarga disana. Melihat sebersit wajah sedih suami, membuat saya ikut bersedih pula. Saya usulkan untuk meskipun tidak lebaran kita akan bepergian ke tanah kelahirannya pasca pandemi ini usai di Indonesia.

Pemerintah memang memiliki kebijakan untuk mengurangi penyebaran virus dan mikroba ini lebih luas. Kami tunduk dengan peraturan tersebut, namun kami yang merasakan sendiri rasa kangen bertemu keluarga, kehadiran fisik kami bertemu dengan Ayah ibu yang tidak bisa digantikan dengan bertemu lewat media online.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Perempuan sebagai Garda terdepan

Dalam rangka Milad FORHATI ke 26, yang jatuh pada tanggal 12 Desember Forhati Wilayah Jawa Timur mengadakan peringatan dibarengkan dengan mo...