Jejak Pergunu Menjemput Asa (2)

 



PC Pergunu Tulungagung dalam rangka Halal Bi Halal sowan ke Ketua Umum PP Pergunu di Pacet, Mojokerto, tepatnya di Universitas KH. Abdul Chalim. Didalam kompleks universitas ini terdapat berbagai Fakultas mulai Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin dan Dakwah serta Pascasarjana S2 dan S3. 

Digedung perkuliahan dilantai paling atas bersatu dengan asrama mahasiswa. Sehingga mahasiswa disana tidak memerlukan angkutan umum atau transport yang lain apabila mau kuliah. Ada Masjid UAC yang sangat megah dan tempat untuk Kyai Asep menerima tamunya. 

Di ruang tamu yang inheren ruangan transit, ruang makan dan aula.Kami diterima sebagai tamu namun diperlakukan dengan luar biasa. Kyai benar benar memperlakukan tamu dengan baik karena perintah Allah untuk menghormati tamu. 

Saat berbicara Nada suara kyai Asep tidak begitu keras, lembut namun begitu menghipnotis kami. Suara khas kyai yang memiliki segudang pengalaman dan pengetahuan yang luas. Sehingga kami khusyuk tenggelam mendengarkan fatwa beliau.

Pemaparan Visi misi dan tujuan Amanatul Ummat yang meluncur deras, hafal luar kepala oleh Kyai Asep menyiratkan bahwa memang setiap saat visi misi dan tujuan itu selalu diingat dan dijadikan motivasi untuk mencapainya. Mewujudkan manusia unggul utuh berbudi pekerti luhur. Beriman bertaqwa dan berakhlak  mulia demi kejayaan Islam dan kaum muslimin dan utamanya bangsa Indonesia. Kesejahteraan dan tegaknya keadilan di Indonesia. 

Melaksanakan visi dengan ketat dan tanggung jawab dituangkan dalam misi lembaga ini,  sedangkan tujuan lembaga ini menjadikan santri Amanatul ummat sebagai Ulama besar dunia dan utamanya dunia, Pemimpin dunia utamanya Indonesia, Konglomerat yang akan memberikan kontribusi maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan Indonesia, profesionalitas yang bertanggung jawab.

dibarengi dengan mendawamkan kata kata dalam bahasa arab yang artinya kurang lebih, Allah mencintai mereka yang luhur urusannya dan cita citanya dan tidak  menyukai orang yang rendah urusan dan cita citanya. Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maula wa nikmannasir.

Tidak sekedar hanya dihafal sebagai narasi penyemangat namun, Kyaipun memberikan uswah hasanah dengan mencetak seluruh anaknya sesuai tujuan Amanatul Ummah. Ada yang jadi Ulama, Politikus, Profesional dan Konglomerat.

Tahun ini Ammanatul Ummat menjadi The Top One lulusannya masuk Fakultas Kedokteran dan masuk sebagai mahasiswa di Indonesia melalui jalur SNBP, belum UTBK. Juga beasiswa pendidikan di luar negeri. Mesir, Yaman dan lain-lain tanpa tes. Karena kualitas siswa dari Ammanatul Ummat tidak diragukan lagi. 

Rahasia menjadi sukses ala Kyai Asep ternyata bahwa kita harus melaksanakan tugas dengan tuntas melaksanakan tugas tidak hanya dengan baik, namun dengan sempurna. Bahkan lebih dari sempurna. Ibadah dengan sebaik baiknya ibadah. Sholat dengan sebaik-baiknya sholat, bukan sekedar sesuai syaratnya saja.

Diceritakan Kyai asep ini awalnya adalah guru SMP dipinggiran Surabaya, tidak pernah menyangka apabila sekarang bertransformasi sebagai kyai yang kaya, berkecukupan dan diberi rezeki anak yang luar biasa.  

Menyinggung mengenai guru saat pengurus Pergunu bertanya dalam sesi tanya jawab, bahwa banyak guru yang masih belum bisa menterjemahkan tugas dan fungsinya, Kyai menjelaskan bahwa Kesuksesan siswa terletak dari guru. Guru yang Menguasai kompetensi guru dan materi ajar, Bertanggungjawab atas proses transfer kurikulum dan muatannya kepada sluruh murid murid, menjadi teladan bagi murid murid dan Disiplinnya. Akan membawa dampak pada siswa dalam kesuksesannya.

Tidak lupa beliau mengajak Pengurus PERGUNU untuk Fastabiqul Khoirot, dan bersedia diundang untuk memberikan kiat sukses mengelola Pendidikan. Tentu saja ini menjadi harapan bahwa PERGUNU Tulungagung akan menjadi besar dan berkembang menyusul kesuksesan Ammanatul Ummat.***

Jejak Pergunu Menjemput Asa (1)

 


 

Pelantikan PERGUNU Tulungagung yang sedianya dihadiri oleh Ketua Umum PP Pergunu Prof. Dr. Asep Syaifuddin Chalim menjelang Ramadhan 1445 H kemarin tidak jadi. Pelaksanaan pelantikan tanpa kehadiran beliau karena Ketua PP mendadak ada acara yang lebih penting. Prof Asep yang tidak lain dan tidak bukan adalah pimpinan Pondok Pesantren Amanatul Ummat, Pacet Mojokerto.

Pada Momentum Halal Bi Halal di bulan Syawal ini sebagian pengurus Pergunu memutuskan untuk sowan ke Pacet untuk mendengar petuah sekaligus siraman semangat dari beliau. Bersama 33 peserta saya ikut didalamnya. Wanhat alias dewan penasehat PERGUNU Prof. Dr. Akhyak dari UIN SATU Tulungagung, juga turut dalam rombongan kami.

PERGUNU merupakan organisasi profesi guru yang diakui oleh pemerintah. Organisasi guru yang semula diakui hanya PGRI, sejak di undangkannya perundangan no 14 tahun 2005 tentang guru dan Dosen, maka bermunculan lagi organisasi-organisasi guru yang dahulu pernah ada dan juga organisasi baru. Salah satunya PERGUNU.

Guru dalam undang undang no 14 tahun 2005 diwajibkan mengikuti Organisasi Profesi. Organisasi profesi yang dimaksudkan dalam undang undang tersebut adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Guru dapat membentuk Organisasi tersebut dan dapat difasilitasi oleh pemerintah atau pemerintah daerah.

PERGUNU yang lahir sejak 1952, dalam masa itu pasang surut keanggotaan di PERGUNU terjadi. Salah satunya karena payung hukum. Sejak dibukanya kran kewenangan organisasi guru dan diadakannya kongres PERGUNU di  Kongres I Pergunu tahun 2011, memilih KH Asep Abdul Halim sebagai Ketua Umum PP Pergunu Periode 2011-2016. Pada kongres selanjutnya, KH Asep Abdul Halim dengan masa kepemimpinan 2016-2021. Sampai sekarang 2021-2026 Kyai Asep tetap menjadi Ketua umum PP Pergunu.

Merasai suasana sejuk di pegunungan Mojokerto, Rombongan PC Pergunu Tulungagung terlihat sangat menikmati. Kami disediakan ruang transit untuk istirahat saat menunggu Kyai Asep rawuh dari agenda yang lain. Setelah sholat dan istirahat sejenak, ada Kang santri yang mempersilahkan kami menuju ruang sebelah untuk makan siang. Luar biasa Ponpes Amanatul Ummat ini memperlakukan tamu tamunya.

Masakan mewah yang tersedia di santap dengan lahapnya oleh kami. Ada Mie goreng, Gurami goreng asam manis, semur daging sapi, ikan asin goreng dan sambal serta lalapan. Pak Nurhadi (Pengawas PAI) berkata dengan saya dan teman teman, “disini ikan asinnya berbeda dengan dirumah, lebih enak.. tahu kenapa karena ada temannya”. Seketika kami tertawa namun tertahan karena kami sungkan mau tertawa keras. “Memang kasihan dengan ikan asin di rumah sering sendirian” ucap saya menimpali.

Lepas Dhuhur kami menata diri di Aula untuk bersiap bertemu dengan Kyai Asep dan mendengarkan dawuh-dawuh beliau. Saya pertama kali bisa sowan kesini merasakan kekaguman kebesaran dan keunggulan pondok pesantren ini. Kenapa kami hanya selalu bergelut dengan masalah masalah saja, susah untuk bergerak maju. Sedangkan disini sudah berlari dan menuju kemajuan serta keunggulan dibanyak hal. Santri sekolah menengah yang diterima melanjutkan ke jurusan kedokteran saja ada 51 dan 300 an siswa Amanatul Ummat lolos SNBP, dan betebaran beasiswa dari luar negeri untuk para santri disini. Tak heran bila Koran Harian Bangsa menyebut Amanatul Ummat Rajai PTN. ***


Pernik mudik



Pulang kampung yang sering diistilahkan dengan mudik. Pada lebaran kali ini, dimana saya dan keluarga menjadi salah satu pesertanya. Menuju kampung kelahiran suami hampir 1000 km dari sini. Ada saja ternyata kisah dikala mudik lebaran. Baik yang haru maupun yang lucu.

Perjalanan ini saya dan anggota keluarga yang berjumlah lima orang, kami memakai mobil wuling milik adik karena kapasitas mobil kami lebih kecil. Saya bersama suami, anak sulung kami yang menginjak kelas 1 menengah atas, putri kedua kami yang dan si bungsu yang masih kelas 1 Sekolah dasar.

Kami berlima berangkat ba’da shalat tarawih. Menyengaja malam kami berangkat dengan harapan sampai tol semarang atau pintu tol Banyumanik kami tidak dikeluarkan dari tol. Berdasar pengalaman dua tahun yang lalu pemudik yang dari barat ke timur sangat banyak, menguasai seluruh jalan tol ruas kiri maupun kanan. Sehingga pemudik yang menuju keaarah barat diturunkan dari tol.

Berdasar informasi juga pintu tol dibuat searah ke timur pukul 14:00 WIB. Maka sebelum itu kami harus sudah lepas dari Semarang.

Alhasil kami sebelum jam 03:00 dini hari sudah sampe Semarang dan melewati Tol Banyumanik dan berhenti di Rest Area. Kami berhenti untuk membuka bekal untuk makan sahur. Meski saat safar kita diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan mengganti dihari yang lain. Saya dan anak-anak tetap berpuasa. Kami menggelar tikar di pelataran rest area untuk makan dan meluruskan badan dengan berbaring sejenak.

Pengalaman saat pramuka dahulu, setelah pulang berkemah, saat tubuh capek capeknya pesan Pembina kami jangan tidur diatas Kasur. Usahakan tidur diatas lantai, bisa digelari tikar dan berbaring posisi keatas, cukup tidur selama 2 jam akan mujarab untuk menghilangkan kepenatan.  Dan benar saja, berbaring sempurna meski tidak lama cukup untuk mengembalikan stamina kami.

--- kehabisan saldo e-toll.

Setelah sholat subuh, kami melanjutkan perjalanan dengan para pemudik yang lain. Saya menjadi driver pengganti sementara driver utama yakni sang suami meneruskan istirahat di kursi penumpang. Setelah 3 jam berkendara kami sampai ke pintu keluar tol Cipali.


Saya yang tidak memperhatikan saldo e-toll kami karena sedang konsentrasi menyetir. Saat saya tempelkan kartu e-toll terpampang tulisan saldo anda tidak cukup. Paniklah saya, saya teriak memanggil penjaga tol. “Mas ini gimana saldo saya kurang” petugasnya memberi saran ” pinjam kartu mobil belakangnya bu” sedangkan suami yang terbangun mengatakan “mundur-mundur aja…”..

Gimana mau mundur, dibelakang sudah antri puluhan mobil untuk keluar pintu tol. Untunglah HP saya ada saldo OVO dan ada tambahan perangkan NFC. Dengan agak panik saya isi saldo e-toll melalui perangkat HP. Alhamdulillah.. bisa masuk dan bisa digunakan. Kepanikan saya lebih disebabkan klakson mobil di belakang kami. Anak-anak tidak kalah paniknya namun menghibur saya dengan mengatakan “jangan gugup mi, kalau mereka gak sabar biar terbang saja” hehehe…

Akhirnya kami bisa keluar tol cipali dengan lega. Dan akhirnya saya lebih familiar dengan fungsi perangkat NFC di HP sebagai alat gesek uang elektronik. Dan mobil kami melenggang menuju gerbang tol Cikampek. Sempat saya melirik di ruas kanan sudah beratus-ratus mobil bergerak perlahan ke timur.

--- tersesat di Jakarta


Pukul 10:00 kami sudah masuk ke Kota Jakarta, biasanya kami memilih tol layang, bukan tol dalam kota, karena lebih cepat untuk bisa keluar dari Jakarta. Saat  mudik inipun kami juga menggunakan Tol MBZ untuk menuju ke Pelabuhan Bakauheuni.

Saat itu saya masih yang menjadi supir kendaraan kami. Berjejal-jejal dengan pengendara mobil yang lain dijalanan kota Jakarta adalah hal yang mendebarkan sekaligus pengalaman baru buat saya. Senjata utama kami adalah memakai layanan peta dari Google Map untuk menyusur di sepanjang perjalanan mudik ini.

Namun ternyata sesaat saja kami salah jalur, akibatnya pahit. Harus berputar didalam kota Jakarta selama hampir 2 jam. Membuat adrenalin berpacu kencang dan kram perut dan mulut pahit. Karena campuran lapar, panik dan takut salah arah lagi.

Padahal pintu tol keluar kurang 100 meter lagi, arahan dari navigator sebelah saya tidak lain dan tidak bukan adalah suami. Lurus saja.. ternyata kami harus memutar hampir 10 km untuk bisa keluar. Sedangkan jalanan didalam kota ada jalur busway yang berulang kali kami terabas karena ketidaktahuan kami.

Lepas siang hari akhirnya kami menemukan rest area untuk beristirahat lagi. Saya keluar dari Mobil dengan lutut gemetar karena perjalanan panjang dan pengalaman macet di kota Jakarta yang luar biasa.

--- Pulang mudik sambil piknik


Dari pengalaman sejak 2007 mudik sampai sekarang, mulai naik bus, pesawat, mobil pribadi, yang kami rasakan adalah berangkat diperjalanan sampai tujuan kemudian pulang. Kali ini ada yang berbeda, mengide dari sebuah film anak “

Mereka melakukan perjalanan panjang dari Jakarta ke banyuwangi dengan menyusuri berbagai tempat tempat indah disepanjang yang mereka lewati.

Akhirnya kami berlima memutuskan untuk mengikuti jejak mereka. Kita pulang mudik dan melipir ke tempat tempat yang kita ingin kunjungi.

Tempat pertama adalah di Masjid Istiqlal. Saya sudah beberapa kali masuk masjid ini, namun anak-anak belum pernah berkunjung ke sini, sekalian kami sholat isya di masjid ini. Terlihat sekali anak-anak menikmati pengalaman masuk masjid kebanggan Umat Islam di Indonesia. Di pelataran masjid kita bisa melihat puncak  monas yang menyala saat malam. Menambah betah mereka untuk mengabadikan moment ini.

Tempat kedua adalah makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Kami keluar tol menuju makam Sunan Gunungjati dengan jarak tempuh 45 menit, lumayan cepat karena keadaan tengah malam dan tidak banyak kendaraan yang berlalu Lalang.


Bukan karena sebab kami menuju ke makam Raden Syarif  Hidayatullah ini, putra bungsu kami selalu menyanyikan lagu walisongo di saat pujian di masjid dan disepanjang perjalanan kami.

Selain itu makam sunan di Cirebon inilah yang paling tidak tersentuh oleh kami saat ziarah wali. Kebanyakan kami melaksanakan ziarah hanya di wali Jatim. Jateng dan jabar sangat jarang tersentuh. Dan kebetulah kesempatan pulang ini kami manfaatkan untuk menziarahi wali yang terkenal sebagai wali ke 9 dari walisongo.

Anakku yang bungsu sangat antusias dalam perjalanan menuju makam sunan gunungjati ini, sepanjang perjalanan dia bernyanyi “ Sunan Gresik kondang ngelmu dagange, Sunan Ampel falsafah mo limone, Sunan Giri tembang dolanane, Sunan Bonang musisi gamelane.

Sunan Drajat pepali pitune, Sunan Kalijogo wayangane, Sunan Muria ngemu tradisine, Sunan Kudus gede toleransine, Sunan Gunung Jati politike…. “

Sesekali menanyakan apa lho arti toleransi, arti mo limo, arti politik dan lain sebagainya. Beberapa pertanyaannya saya jawab beberapa lagi dijawab oleh suami saya.

Sesampai disana. Kami diarahkan oleh tukang parkir untuk masuk gang. Ditengah kebingungan kami kami mengikuti intuisi aja, semoga tidak kesasar. Dan alhamdulillah kami sampai ke masjid "Dog Jumeneng" sunan Gunung Jati. Masjid ini berundak-undak. Sehingga shof dimasjid tidak rata namun seperti bukit berundak setiap shofnya.

Kami mengambil air wudhu dan menuju makam dulu sebelum akhirnya beristirahat lagi di masjid. Para jamaah diperbolehkan tidur didalam masjid.

Dimakam yang semula sepi yang beberapa orang, kami mengambil tempat tidak terlalu depan. Setelah duduk dan belum kami buka tahlil, rombongan peziarah lainnya yang jumlahnyan puluhan, bahkan sampai ratusan memenuhi area makam. Kami yang hanya berlima ikut saja alunan tahlil dengan mereka, karena kalau dipaksakan mengimami sendiri suara kita tenggelam dengan kerasnya suara jamaah mereka.

--- makan Mahal

Singkat cerita kami melanjutkan perjalanan, suami menawarkan bagaimana kalau kita lewat wonogiri, secara peta nanti langsung menuju ponorogo, dari ponorogo ke Trenggalek dan ke timur sedikit sudah sampe rumah. Senyampang lewat wonogiri kami singgah dulu di waduk gajah mungkur.

Jalanan yang padat memaksa kami menepi kesebuah warung yang cukup ramai. Disitulah kami terkena prank nasi mahal, karena ramai ada dua kemungkinan, enak atau murah. Tanpa bertanya kami memesan makanan menu nila bakar 2 porsi, nasi dan es degan. Menurut saya ikan yang dibakar ini tidaklah besar 1 porsi isinya dua. Dan Ketika saya cicipi juga tidak ada yang luar biasa, seperti nila bakar di warung biasanya, nah dugaan saya ramai karena murah sudah pasti ini.

Setelah selesai makan saya sempatkan untuk mengabadikan panorama waduk di samping warung, disitu ada pasangan muda berbisik, tidak sesuai dengan ekspektasi. Waduh.. sepertinya tidak sesuai dengan dugaan saya.

Benarlah saat membayar 5 orang harus membayar 350.000,- artinya perorang kena 70.000,- pusing pala berbie,….. makanan mahal ini kita harus bayar dengan terpaksa. Akibat tidak ada harga yang tertera dan kami tidak menanyakan dulu berapa harga nya.

Kami keluar warung sambil tersenyum kecut, mungkin saja mereka tahu kalau kami tidak menjadi pelanggan dan tidak akan kesana dalam waktu dekat akhirnya dimahalkan harganya. Anakku yang sulung bergumam, “mau tak keluarkan eman dengan nasi mahal tadi” kami semua tertawa di mobil. Sungguh pengalaman yang tidak perlu diulang lagi.

 

 

Pahlawan Emansipasi dan Literasi



Memperingati hari kartini yang jatuh pada setiap tanggal 21 April, banyak khalayak yang memperingatinya dengan berbagai macam event. Ada yang lomba memakai kebaya, menggambar Kartini, mewarnai gambar Kartini, yang hampir semua menggambarkan sosok kartini sebagai perempuan jawa yang bersanggul dan memakai kebaya.

Apakah memang karena kartini ini orang jawa sehingga diidentikkan dengan pakaian jawa dan sanggul. Dan saya tidak banyak menyoroti disana. Hal yang perlu sekali kita maknai dari peringatan hari Kartini adalah bahwa Kartini adalah seorang pahlawan Nasional di bidang Emansipasi Perempuan.

Dilahirkan di lingkup  darah biru, nama Raden Ajeng Kartini, putri wedana yang kemudian menjadi bupati di Jepara hidup dalam kungkungan tembok tinggi keningratan. Dimana perempuan tidak bisa menikmati hak kebebasan seperti halnya kebebasan lelaki. Salah satu contoh kekangan yang didapat oleh Kartini, dia hanya boleh bersekolah sampai usia 12 tahun. Meski gurunya menyarankan untuk meneruskan studi ke Belanda, sang ayah melarangnya.

Dalam usia ke 24 Kartini di peristi oleh Bupati Rembang RM Djojohadiningrat, dalam bayangan kartini, hidup sebagai istri lebih mudah untuk mendirikan sekolah untuk perempuan. Namun takdir Kartini hanya sampai pada usia 25 tahun dan meningggal dunia tahun 1904.

Di tahun 1938 muncullah buku bertajuk Habis gelap terbitlah terang Karya Armijn Pane, yang mengulas surat-surat yang di tulis RA Kartini kepada koleganya di Belanda. Surat ini dinilai oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai Pemikiran modern pertama yang muncul dari pribumi asli.

Dari RA Kartini kita tahu kegelisahan dan kesengsaraan perempuan jawa zaman itu yang tidak memiliki hak dalam memperoleh Pendidikan yang sama dengan laki-laki, kita akhirnya tahu beliau juga memperjuangkan untuk tidak menikah di usia belia. Zaman dahulu usia 12 tahun perempuan Jawa telah dinikahkan oleh orang tuanya, dan RA Kartini bertahan sampai usia 24 tahun.

Tidak ada malam yang abadi, malam akan berganti siang dengan sinarnya yang terang. Kartini merupakan suluh perjuangan perempuan. Beliau meninggal di usia muda, namun peninggalan atas surat - suratnya terpatri abadi di benak bangsa Indonesia.

Akhirnya disini saya tersadar pentingnya goresan tulisan gagasan yang ditulis Kartini adalah sebuah mahakarya literasi yang tak lekang oleh zaman. Dalam usia 12- 24 tahun dia aktif berkorespondensi, 12 tahun itu menjadi abadi karena tulisannya sampai sekarang bisa dibaca oleh kita.

Pada tulisan surat terakhirnya kepada sahabatnya, Kartini menyuarakan jalan terbuka untuk kemenangan perempuan Indonesia dengan kutipan “Walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah turut merintis jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra.” 

Terimakasih ibu Kartini, Jasamu untuk perempuan Indonesia kami kenang selalu.

 

Menjumpa Rindu Sang Bumi Ruwa Jurai

 


Agenda dwitahunan kami sekeluarga adalah mudik ke kampung halaman untuk melepas rindu dengan orangtua terkasih. Meski bentangan jarak yang tidak dekat, biaya yang berat, insyaallah tidak ada apa apa nya dengan luapan rindu dan keinginan untuk meminta maaf kepada ibu dan ayahanda.

Tahun ini kami tetapkan niat untuk ke tanah kelahiran suami yang di kenal dengan sebutan Sang Bumi Ruwa Jurai. Ratusan kilometer kami tempuh dengan menaiki mobil. Tentu saja persiapan baik fisik maupun mental ditambah lagi finansial sangat butuh ditata dengan sebaik-baiknya.

Kamis Malam 5 April kami mengawali perjalanan safar ke pulau Sumatera. Suami sebagai amir safar dan saya sebagai bendahara perjalanan. Anak kami tiga kami ajak untuk ikut serta dalam setiap perjalanan mudik kami. Tugas saya adalah menyiapkan keperluan BBM, Top Up e-Toll, ASDP penyeberangan ferry dan konsumsi saat perjalanan. Sedang tugas utama suami mengemudi kendaraan. Saya Sebagian kecil membantu menggantikan mengemudi dia saat merasa ngantuk dan lelah.

Mental yang harus dijaga benar saat perjalanan karena setiap saat di tol harus selalu waspada dan tidak boleh lengah sedikitpun. Tak jarang kami temui kecelakaan mobil di tol, kerusakan mobil akibat pecah ban, atau radiator mbledug. Tak lepas mulut kami dengan doa dan shalawat sebagai sebuah bentuk pengharapan kelancaran perjalanan dan kepasrahan kita kepada Allah sang Maha segalanya.

Perjalanan tertera dalam google map memerlukan waktu tempuh sekitar 20 jam, ternyata mengalami banyak keterlambatan. Penyebab utamanya adalah macet di Pelabuhan penyeberangan Merak-Bakauheuni. Banyak pemudik yang belum tahu aturan baru, bahwa penyebarangan ferry Merak-Bakauheuni tidak lagi menyediakan tiket offline. Namun harus memiliki akses online di Ferizy atau sejenis untuk melakukan pembelian tiket. Akibatnya mereka tidak diperkenankan masuk ke perahu sedangkan tidak bisa mundur lagi karena antrian mobil dibelakang sudah mengular.

Tibalah kami di Kampung Halaman di daerah Rajabasa dini hari setelah menempuh perjalanan selama hampir 30 jam. Setelah sahur bersama keluarga dan menunggu sholat Subuh setelah itu kami istirahat melepas penat sampai matahari telah tinggi.

Keinginan bertemu untuk menjumpa rindu dengan keluarga dan handaitaulan yang jauh diseberang pulau kesampaian juga. Kegembiraan Nampak di wajah suami ku, sayapun turut gembira menyaksikan keeratan hubungan antar keluarga disini.

Kesederhanaan kehidupan di keluarga ini namun terasa sekali religiusitas dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, lantunan ayat al-Qur’an acapkali terdengar dilantunakan dengan merdu oleh adik bungsu kami. Kekompakan dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu di masjid untuk kaum laki-laki benar benar menjadi pemandangan indah di mata saya.

Saat dikumadangkan Adzan seluruh pekerjaan mereka tinggal dan memenuhi panggilan sholat di Masjid. Bahkan subuhpun Jamaah dimasjid penuh. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun sangat banyak yang sholat subuh di masjid. Ini menjadi pelajaran penting buat anak-anakku dan saya sangat berharap praktek baik ini dia bawa sampai pulang ke tanah Jawa.

Kami bertemu ibu dan bapak yang telah beranjak menua dan melemah tubuh mereka. Ibu sudah empat bulan tidak bisa berjalan karena kakinya lemas. Bapak yang telaten merawat ibu ditemani adik bungsu kami dan salah satu anak perempuan yang tinggal di sebelah rumah. Tubuh renta ini yang telah mengantarkan anak-anak nya dengan membanting tulang tak kenal panas dan hujan. Pekerjaan apapun selama halal di lakoni, menyadap karet menanam bengkoang, menanam papaya di kebun untuk di jual dilakukan demi memenuhi hajat anak-anak mereka untuk makan dan bersekolah.

Maka tidaklah pantas mengukur jauh perjalanan ini untuk bersua dengan mereka. Kami datang untuk bersimpuh didepan mereka seraya bermohon ridho atas semua jerih payah mereka membesarkan dan menghidupi anak-anaknya. Kebahagiaan mereka hanya sederhana juga bisa berkumpul dan melihat anak anaknya bisa melewati ujian kehidupan yang pasti satu dan lain tidak sama.***

Featured Post

Jejak Pergunu Menjemput Asa (2)

  PC Pergunu Tulungagung dalam rangka Halal Bi Halal sowan ke Ketua Umum PP Pergunu di Pacet, Mojokerto, tepatnya di Universitas KH. Abdul C...