KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN

 


Masih lekat dalam ingatan guru di Madura bernama pak Ahmad Budi Cahyono, Guru sebuah SMA meninggal karena dianiaya siswa sendiri. Dia Mati Batang Otaknya setelah di pukul oleh siswanya yang di tegur karena bolos sekolah. Karena alasan anak masih dibawah umur maka tetap diperkenankan melanjutkan masa sekolahnya meski ditahan.

Hari ini beberapa kekerasan terjadi lagi, hari ini seorang guru yang diviralkan oleh siswanya karena memukul siswa di kelas dan di rekam oleh siswa lainnya. Buntut video 3 detik itu guru tersebut di tuntut pasal 54 UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Di Buton, Sulawesi Utara  ada guru yang dihadapkan di meja pesakitan akibat menghukum siswa dengan memasukkan sampah ke mulut anak sebanyak 15. Orang tua mereka melaporkan ke polisi dan meminta guru tersebut diberhentikan.

Lain lagi dengan guru yang dipukul paman siswa, karena siswa tersebut dihukum oleh guru dengan hukuman disuruh membersihkan kotoran ayam.

Miris itulah kata yang bisa saya ucapkan dengan adanya peristiwa ini. Ada hal yang tidak tuntas yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kenapa kekerasan sampai terjadi di sekolah yang nota benenya tempat belajar budi pekerti. Anak –anak yang sering bertindak di luar batas sering di mafhumi karena mereka anak-anak masih tahap belajar. Maka orang tua kedua yakni guru sebagai pendidik harus ekstra sabar dan selalu menerapkan profesionalisme sebagai guru.

Kekerasan dalam bentuk verbal maupun fisik seharusnya di hindari untuk memberikan uswah hasanah kepada anak-anak. Guru sebagai pendidik bukan hanya sebagai pengajar. Tentu saja susah mengubah karakter anak dan kebiasaan. Berbeda dengan pengaruh lingkungan yang sedemikian pesat mempengaruhi perangai maupun sifat anak. Ketika ada trendsetter masuk dengan budaya baru, katakan budaya K-pop. Anak anak akan dalam sekejap mengimitasi dan menirukan gaya dan perilaku  bahkan sampai kepada make up mereka.  

Sedangkan mendidik itu membutuhkan waktu yang sangat lama dan berubah tidak sedemikian drastis dari jelek ke baik. Mendidik seperti menanam pohon jati. Pohon itu akan menjadi kayu yang bagus dan kuat, tidak dalam sekejap. Butuh bertahu-tahun bahkan berpuluhpuluh tahun untuk mendapatkan lingkaran tahun yang indah dan diminati banyak orang.

Saya tidak dalam posisi membenarkan kekerasan terjadi di lingkup pendidikan. Pendidikan haruslah menjadi tempat aman bagi siswa. Alangkah malangnya sekarang nasib guru yang semakin di lilit aturan yang tidak boleh ini tidak boleh itu. Saya yakin tidak ada guru satupun yang ingin menempeleng atau melakukan kekerasan fisik kepada siswa.  Pasti ada satu sebab yang membuat sang guru khilaf sampe melakukan tindakan fisik.

Apalagi jaman sekarang, Rasa keingintahuan mereka yang besar sekarang difasilitasi dengan era keterbukaan informasi.Sekarang siswa dengan begitu leluasa memegang gawai, mereka terkadang belum cakap dengan dunia digital. Hasilnya mereka membuka situs yang belum layak ditonton sesuai usia mereka. Menghabiskan waktu dibeberapa permainan online dan lain sebagainya.

Terjadinya kekerasan didunia pendidikan bukan ansih kesalahan guru, keterlibatan orang tua yang bijaksana dan peran pemerintah untuk memperbaiki system pendidikan mutlak diperlukan. Bangsa yang besar bukan karena saling menyalahkan. Bangsa ini akan besar dengan sama sama bergandengan tangan, mendidik generasi bangsa menjadi generasi yang kuat dan termotivasi untuk terus menuju kebaharuan.

WORKFLOW


 

Pengalaman pertama dalam mensubmit jurnal internasional merupakan pengalaman berharga buat saya. Penuh dengan ketidaktahuan dan penuh dengan pertanyaan yang ada difikiran ini. Bagaimana setelah proses ini, bagaimana nanti jika tulisan saya kena plagiasi diatas 20%, bagaimana pula nanti hasil review dari para reviwernya?? Yang paling menakutkan dibenak saya adalah bagaimana bila nanti tulisan ini dianggap tidak layak untuk publish. Berbekal ilmu yang disampaikan oleh suhu literasi “Prof. Ngainun Naim” bahwa berkali kali di tolak, yang menolak kita itu adalah mereka yang belum tercerahkan. Yang menerima tulisan kita itulah mereka yang cerdas. Hehehe

Menulis karya ilmiah memang banyak yang mengalami kesulitan. Otak harus bekerja keras merangkai kata demi kata baku yang sesuai dengan EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) pengganti EYD (ejaan yang disempurnakan). Mencari referensi yang cukup dari buku dan jurnal untuk memperkuat pernyataan penulis. Untung semua itu dibantu oleh paket data internet dan gawai untuk searching jurnal di google scholar, mendeley dan mesin pencari jurnal lainnya. Adapula kunci yang saya dapat dari seorang teman bagaimana bila kita tidak bisa melihat artikel utuh. Cukup dengan berbekal DOI (Digital Object Identifer) yang berupa angka unik dari artikel yang dimuat dalam jurnal online.

Setelah selesai artikel yang dibuat, langkah selanjutnya adalah kita harus mencari jurnal apa yang akan kita kirimi tulisan. Apakah jurnal terindeks sinta, atau scopus . Jurnal yang teindeks scopus merupakan jurnal ilmiah yang paling bereputasi dalam dunia publikasi ilmiah. Berbekal mesin pencari dan bertanya kepada teman, akhirnya saya menemukan sebuah jurnal yang saya rasa cocok untuk tulisan yang saya miliki.

Yang sangat perlu kita ketahui, menulis jurnal harus menyesuaikan template yang jurnal itu punyai, metode citation nya memakai mode APA, Chicago, MLA, Harvard, ataupun vancouver, semua itu bisa kita lihat di bawah artikel yang kita cari di google scholar. Selain itu beberapa jurnal mewajibkan penulis untuk memasukkan beberapa referensi dari jurnal tersebut kedalam artikelnya.

Sampailah kemudian proses submit. Dengan mendaftar akun di jurnal yang kita pilih. Supaya kita bisa mensubmit jurnal kita. Tahapan / workflow dari submit jurnal adalah submit-review- copyediting-production. Setelah submission atau mengirim naskah artikel kita, akan dilanjutkan tahapan review oleh reviewer, naik ke step selanjutnya atau dikirim ulang untuk di revisi oleh penulis tergantung dari hasil reviewer. Mereka akan memberikan keputusan (reviewer decision) dan memberikan saran dari artikel kita. Selanjutnya apabila reviewer decisionnya mengatakan the paper may be published without making any change, maka bisa kita pastikan artikel kita diterima.

Alhamdulillah sekali kirim artikel langsung tidak ada komentar maupun saran dari reviewer, dan bisa segera di terbitkan / publish. Namun ada kendala selanjutnya, setiap artikel yang akan terbit ada fee untuk publikasi. Biasanya membayarnya pake Dollar atau Euro. Dari itu kita harus siap siap membayar sesuai yang ditetapkan ditambah dengan biaya charge dari bank ke bank antar negara sebesar 30%.

Mengikuti tahapan demi tahapan yang lumayan melelahkan. Semoga membuahkan hasil manis dengan terbitnya artikel di jurnal internasional. Terimakasih

SERBA SALAH

 


Kata kata ini banyak diungkapkan manakala kita berada di dua pilihan yang sama sama berpotensi  mengalami kesalahan dan bisa jadi menjadi bahan pembicaraan orang. Pembicaraan yang tentu saja memojokkan posisi kita dalam posisi yang tidak benar. Kita memiliki resiko untuk di gunjing oleh orang yang merasa benar versi mereka. Bahkan anak zaman now menyebut dengan natizen maha benar.

Kapankah terjadi kita menjadi serba salah? Yang paling sering kita dibuat serba salah adalah saat kita menggelar hajatan terutama hajatan pernikahan. Pernikahan sebagus apapun pasti tidak lepas dari omongan. Omongan pedas tidak jarang terjadi sepedas sambel korek.

 Hal kecil mulai nasi untuk isi takir yang tidak matang di masak, kata orang jawa masih nglenis karena kebanyakan tamu. Tukang masaknya tergesa gesa ngentas nasi menjadi bahan perbincangan. Jenang yang gosong atau kurang mateng atau rasanya tidak enak pun tidak luput dari perbincangan.  Kalau asul-asul (berkat yang dibawa pulang) isi tas atau ember itu sedikit juga tidak luput dari perkataan orang . katanya yang punya rumah pelit. Makanan hambar dirasani  siapa sih tukang masaknya? Apa yang punya rumah beli bumbunya terbatas??  Bila ada biduanita yang menyanyi terus pakaian nya agak terbuka, pasti belum pulang ibu-ibu sudah nyinyirin yang punya hajat.  Belum lagi kalau ada yang nitip amplop tapi lupa memberi bingkisan untuk pulang.

Apalagi hal besar yang terlihat, seperti menutup sebagian besar jalan untuk kepentingan menggelar hajatan. Pasti seluruh pengendara yang lewat menggerutu dan ada pula yang nyumpahi yang punya hajat.  Nyusah –nyusahin orang yang mau lewat harus melipir ke gang kecil. Tak jarang yang dilewati jalan yang bukan aspal dan becek.

Sebenarnya bila kita telaah lebih dalam tujuan hajatan pernikahan adalah mulia, mempertemukan dua keluarga, menjalin sillaturrahim, mengabarkan berita gembira bahwa si fulan sudah sah menjadi suami si fulanah. Pasti rangkaian hajatan sudah dipersiapkan sebaik baiknya. Orang lain yang melihatpun seharusnya turut bergembira. Tidak sekedar ucapan rangkaian bunga dan ucapan lisan selamat menempuh hidup baru.

Kesalahan kesalahan kecil akan hilang dan tidak perlu dibesar-besarkan.  Kesalahan kecil bisa dinetralisir dengan kita tidak sering ghibah membicarakan aib orang lain atau kesalahan yang ada. Akan sangat sakit apabila yang punya hajat mendengar, mereka sudah capek pikiran, capek badan bahkan rela merogoh kocek dalam-dalam yang tujuannya adalah menghormat tamu yang datang.

Toh kalau kita sendiri nantinya yang mempunyai hajat, belum tentu kita bisa lebih baik melaksanakan hajat kita dibanding orang tersebut. Untuk itu selain tidak ghibah kita juga harus pandai menjaga diri, mengintrospeksi diri dan berbesar hati untuk menerima kekurangan dari tetangga atau kawan atau siapapun yang menyelenggarakan suatu acara.

 


Sang Inspirator



Saat membaca Grup Whatsapp dari sahabat pena, saya terpekik spontan mengucapkan “Alhamdulillah”. Pengumuman yang berisikan nama nama professor dan nama perguruan Tinggi tempat beliau berpangkalan data. Professor Ngainun Naim, MHI tertulis di nomor 2 dari 15 Professor yang mendapat SK guru besar dari Menteri Agama.

Masih ingat saat saya mengikuti beberapa zoom bersama pak Ngainun, tentu saja terkait seputar mengasah kemampuan menulis,  Beliau sering bercerita dengan renyah, tidak pernah menanyakan sekalipun tentang pengajuannya menjadi guru besar kepada tim kepegawaian yang ada di kampus. Padahal saya tahu banyak orang yang menanyakan hal ini kepada bu Binti Mu’alamah dan teman teman di kepegawaian terkait dengan kenaikan pangkat sebagai guru besar. Ini awal kekaguman saya kepada beliau selain setumpuk kekaguman saya kepada beliau yang lain. Tentang kekuatan nasehat sang ayahanda kepada beliau, ketabahan dan kesabaran ibunda, pun tentang segudang cerita terkait perjalanan hidup beliau.

Prof Naim pantas di sebut sang inspirator. Saya mengenal dekat dengan beliau saat saya dan dan teman teman yang tergabung di salah satu grup menulis yang didampingi beliau belajar menulis. Jujur tidak ada yang tidak terinspirasi dari jejak beliau dan keistiqomahan beliau menulis. Kami yang semula hanya mengangan bisa menulis tanpa tahu bagaimana cara dan kemana, dengan prof naim inilah  kita bisa berdiskusi mengenai tulis menulis.

Saat bimbingan teknis kepala madrasah tahun 2020 kami mendapat materi literasi di hari ketiga. Di hari pertama sebenarnya saya berada di kelas sebelahnya, tapi saya meminta panitia untuk pindah kelas karena melihat roundown dan pemateri di kelas A ada materi Literasi di isi oleh Bapak Ngainun Naim. Meski saya masih belum begitu kenal beliau, namun beberapa kali kami pernah bertemu dan buku beliau sudah tidak asing lagi buat saya, seperti menipu setan, menjadi guru inspiratif dan lain-lain.

Takdir yang mempertemukan dengan pakar literasi Bapak Ngainun Naim ini. Kami kepala madrasah yang berada di bimtek waktu itu bertekad untuk membuat antologi buku yang berisi pengalaman saat diklat. Receh tapi asyik. Penulis pemula seperti kami perlu wahana dan sebuah apresiasi. Siapa yang menjadi inspirator? Tidak lain dan tidak bukan adalah bapak Dr. Ngainun Naim. Kepala Madrasah yang menginginkan menulis  diberi tengat waktu untuk mengumpulkan tulisan. Alhasil buku “kepala madrasah menulis” terbit. Disusul buku kedua “tantangan pendidikan era digital” buku ketiga mengenai “Ramadhan masa kecil” juga dengan tema yang kecil tapi luar biasa “the power of blendrang”.

Saat pandemi melanda Nusantara, hari hari bisa dilalui dengan begitu bermakna, tantangan beliau kepada kami untuk menulis satu hari lima paragraph dan di unggah di blog masing-masing. Kami begitu bersemangat menulis berkat bimbingan dari Dr. Ngainun Naim. Beliau tidak sekedar menyemangati kami untuk menulis, tapi beliau juga mencontohkan dengan konsistensi beliau menulis artikel.  

Tantangan selanjutnya adalah membuat buku solo. Kebingungan datang, apa yang mau kita tulis? Beliau menjelaskan tidak usah bingung, dari artikel yang dikumpulkan itulah bisa dipilah dan pilihlah satu tema yang dirasa menarik untuk dibuat buku. Anggota grup akhirnya berlomba mengumpulkan tulisan dan terbit beberapa buku solo dari kami,  saya sendiri dengan buku “new normal new hope”, sekalipun judulnya bahasa inggris tapi dalamnya bahasa Indonesia, beliau menunjukkan buku saya kepada salah satu forum guru menulis dari pergunu yang disambut gelak tawa dari peserta. Tapi dibalik itu jujur rasa bangga menyeruak ketika buku saya di apresisasi dan menjadi contoh untuk menggerakkan guru-guru untuk berdekatan dengan dunia tulis menulis.  rekan rekan seperti pak Suprianto, pak Nurhadi dan pak Ansori  juga menerbitkan buku solo mereka.

Saat mau ujian terbuka promosi doktor. Saya sengaja memohon kepada sekprodi S3 untuk bisa memasukkan beliau menjadi salah satu  penguji saya saat ujian terbuka. Saya bangga dan terharu ketika permohonan itu disetujui.  Mentor literasi kami yang humble, penuh dengan kesahajaan yang mampu menggerakkan guru-guru seperti kami untuk bisa belajar dunia literasi menjadi penguji saya di ujian terbuka.

Beliau sekarang menjadi Guru Besar UIN Sayyid Ali Rahmatullah. Kami benar-benar merasa mendapat bimbingan yang tepat untuk meng-upgrade  potensi diri. Beliau adalah sang inspirator. Semoga kami bisa mengikuti jejak beliau mengistiqomahkan diri dalam dunia literasi. Banyak orang pintar tapi untuk mereka sendiri, mereka tidak mau membagi kepintarannya dengan orang lain. Tapi lain dengan pak Ngainun Naim, beliau tidak pelit dengan ilmu dan memberdayakan banyak orang dengan menulis. Kalau anda seorang penulis tapi tidak kenal bapak Professor Dr. Ngainun Naim, MHI maka anda masih belum luas dalam mengenal dunia tulis menulis.

·   * Eti Rohmawati, lahir di Tulungagung pada 17 April 1981, menamatkan pendidikan pada jurusan Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana S-3 UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Bekerja sebagai kepala MTs Arrosidiyah Sumberagung Rejotangan Tulungagung. 

 

Featured Post

Jejak Pergunu Menjemput Asa (2)

  PC Pergunu Tulungagung dalam rangka Halal Bi Halal sowan ke Ketua Umum PP Pergunu di Pacet, Mojokerto, tepatnya di Universitas KH. Abdul C...