Melirik Pendidikan Multikulural


Keragaman apabila dimaknai secara negative, sejarah telah menunjukkan bahwa hal itu melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India pembantaian Rohingya Myanmar hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.

Secara konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, sudah lama diterapkan. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Di Indonesia seperti yang disampaikan dalam lecture series 10, penelitian mengenai Pendidikan multicultural ini disampaikan oleh Peneliti Prof. Mujamil Qomar dan Dr. Ngainun Naim, yang mengangkat penelitian tentang Aktualisasi Pendidikan Multikultural di dua pesantren di Ponpes Ngalah,Pasuruan dibawah kepemimpinan Kyai Soleh dan Ponpes Al Amin Sumberpucung Malang.

Peneliti mengamati keunikan dalam dua pesantren ini dimana Pendidikan mereka memiliki budaya yang tidak biasa dalam Pendidikan pesantren pada umumnya. Dalam pesantren Ngalah Pasuruan mereka intens berbaur dalam budaya dengan non Islam seperti Narsani, Konghucu, maupun Budha. Pembina kesenian di pesantren ini di datangkan dari orang Nasrani. Universitas yang dimiliki oleh pesantren Ngalah yakni Universitas Darul Falah menggunakan nama nama pluralis nasionalis.

Yang menjadi dasar aktualisasi pemikiran Pendidikan multukultural ini adalah berbagai budaya yang menjadi pemersatu bangsa. Pendidikan multicultural menurut prof. Mujamil adalah bukti penghormatan secara total terhadap keberagaman budaya itu sendiri. Motif Akhlaq mulia sesungguhnya yang menjadi motif mendekati kaum minoritas.

Berangkat dari pluralisme budaya dan pendidikan konstructivisme maka dalam pengelolaan pendidikan harus berangkat dari suatu keyakinan bahwa setiap warga masyarakat memiliki konstruk mereka mengenai identitas budaya yang mereka pilih. Dengan demikian maka pendidikan harus membuka pengakuan dan keterbukaan bagi masyarakat untuk mengekspresikan symbol dan lambang-lambang partikularitas budaya mereka

Kendati demikian, disamping menumbuhkan kesadaran akan perbedaan, penting untuk ditumbuhkan nilai-nilai kesederajatan (equality). Dengan pandangan kesederajatan ini, dikembangkan pemahaman bahwa setiap orang memiliki hal-hak dasar (basic right) yang sama, tanpa membedakan perbedaan ras, gender, usia, kapasitas, keyakinan keagamaan, afiliasi politik, kewargaan Negara, wilayah dan latar belakang mereka. Pengakuan hak-hak dasar yang setara tanpa pandang bulu itu akan terwujud jika ditanamkan nilai-nilai tanggung jawab social serta tanggung jawab bersama sebagai sesame anak bangsa. Nilai-nilai yang bisa mendorong sikap terbuka bagi setiap ornag untuk turut berpartisipasi dalam proses social maupun politik. Terbukan bagi partisipasi setiap warga dalam memecahkan masalah dan menciptakan kebaikan bersama.

Patut dihargai bahwa kurikulum pendidikan nasional telah memasukkan pendidikan multikultural sebagai salah satu subyek pembelajaran soiologi di kelas menengah. Jika standar kompetensi yang dirumuskan itu berhasil tercapai, maka pendidikan multikultural, masyarakat yang menjunjung rasa keadilan penegak hokum dan inklusivme. Jika ternyata pendidikan multikultural ini belum sepenuhnya disadari oleh para actor pendidikan. Kalau toh sudah disadari, barangkali aspek teknologi pembelajaran yang ditetapkan belum efektif.

Menurut Ahli Pendidikan Quezada dan room Agar transformasi pendidikan multikultural efektif, menetapkan empat dimensi pendidikan multikultural yang harus memperoleh penekanan.

Pertama, pembaharuan kurikulum, yang didalamnya di transformasikan pengetahuan dari hasil penelitian sejarah. Guna mendapatkan bahan pembelajaran yang menunjang penyadaran pentingnya keterbukaan menghadapi realitas multikultural, bisa dilakukan dengan mendeteksi bias berbagai tulisan, media dan bahanbahan pendidikan. Disamping pembaharuan teori kurikulum itu sendiri.

Kedua, ketika siswa belajar tentang keadilan dan masyarakat inklusivme, siswa diarahkan kepada tantangan upaya membangun masyarakat berkeadilan.

Ketiga, ketika siswa memperoleh kesempatan meningkatkan kepekaan dan kompeteni multikultural maka kompetensi cultural siswa mencakup pemahaman akan kultur kelompok etnis, upaya mereduksi prasangka dan pengembangan identitas etnis.

Keempat, peningkatan kompetensi multikultural juga berkaitan dengan pedagogi keadilan, yang terkait dengan iklim disekolah dan kelas, kinerja siswa, pola budaya dalam mengajar dan pembelajaran.

Dinegara-negara maju, pendidikan multikultural di transformasikan melalui program service learning sebuah metode pembelajaran yang didalamnya siswa atau peserta didik belajar dan mengembangkan kompetensinya dengan cara aktif berpartisipasi dalam praktek pelayanan masyarakat secara terorganisir. Siswa dalam hal ini mencoba memahami dan belajar memenuhi kebutuhan masyarakat, bersama masyarakat, meningkatkan tanggung jawab kewargaan. Siswa diintegrasikan kedalam kurikulum akademik atau komponen pendidikan program pelayaan masyarakat. Dengan service learning sekolah mengantarkan siswa kedalam pelayanan masyarakat seiring dengan pencapaian standar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum berupa tanggungjawab kewargaan dan pemberdayaan masyarakat.


4 komentar:

  1. itu seperti cross cultural understanding ya bund?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya.. service learning yang menjadi point utamanya nanti. Insyaallah begitu sepemahaman saya

      Hapus
  2. Kalau pendidikan model privat,. Brarti gk bisa jadi multikultural ya bu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meniko konteksnya dalam menghargai budaya agama di masing masing agama pak. penerapannya pun belum banyak. namun saat kita paham dengan kultur yang berbeda akan lebih mudah memersatukan dan tidak egois

      Hapus

Featured Post

  Tumpukan masalah yang menggelayut di madrasah kami tidak sedikit. Stigma guru yang belum berkualitas, pembelajaran yang monoton, siswa mal...