Second Opinion (Opini Kedua)
Oleh ; Eti Rohma
Sinopsis
Selalu ada jalan
Plan B untuk kita. Mengandung anak ke 3 saat
diketahuinya penyakit yang dideritanya. Mau tidak mau operasi SC di lakukan
untuk keselamatan ibu dan anak. Kelahiran anak ini ternyata membuat dia harus memilih,
menyusui anak nya atau tidak karena penyakit yang dideritanya.
Awal tahun 2006,
menurun drastis berat badanku, semula kukira itu adalah hasil diet yang ku
lakukan, memakai produk H…, semakin hari semakin rontok rambutku, bahkan untuk berdiri
lama aku tidak mampu, sebagai guru saya harus mengajar anak- anak. Baru lima
menit di depan kelas, keringatku sudah berjatuhan dan gemetar lututku. Aku harus
bersandar di bangku guru atau duduk. Saat upacara bendera saya sering tidak
ikut, kalaupun ditunjuk sebagai pembina upacara, saya pasti berpesan kepada
anak-anak petugas. “Harus cepat cepat ya, kalau tidak Bu Rukma pingsan.”
Saat sholat, rekaat
keduaku sampai salam tak jarang sambil duduk, karena gemetarnya lututku untuk
berdiri ke rekaat selanjutnya. Ya Allah… aku masa diet koq sampe membuatku
begini? Tanyaku dalam hati. Teman teman yang ada di sekelilingku sering memuji
dengan tubuhku yang semakin kurus. Tapi beberapa
teman juga mengejek “ ih kamu sekarang gak pantes kurus.. “
Setiap malam saya
sering masuk angin.. kalau sudah hoeekkk buru buru suami membikinkan teh anget
dan saya baluri dengan minyak angin. Suami ku sering marah “jangan tidur
terlalu larut, itu yang menyebabkan kamu sering masuk angin, “Ah.. nggak koq”
kilahku. “Aku kan hanya kelelahan aja ngurus dua anak. Kamu kan sibuk ngurus
pekerjaan”
Saih dan Bibah anak
pertama dan kedua ku memang masih usia 7 dan 5 tahun. Mereka sedang butuh butuh
nya perhatian. Untunglah ada neneknya yang membantu mengurus dua anak ini. Suatu
malam aku masuk angin parah.. semalaman aku gak bisa tidur. “Besok kita ke
dokter ya..”pinta suamiku. “baiklah” jawabku singkat.
---
Dokter Setiawan,
adalah dokter faskes pertamaku. Pagi pagi buta aku sudah di depan pintu praktek,
antri sejak pagi padahal buka praktek jam 07.00 itupun dokter nya kadang-kadang
sampe ke tempat praktek jam 08.00. Antri pagi untuk tidak diserobot oleh pasien
lainnya. Tidak ada nomor antrian, antrian ditentukan oleh datang duluan. Pagi
itu Analisa doktek setiawan aku terkena maag akut. Diberi obat maag, “seminggu
lagi kontrol ya” ucap sang dokter. “Baik dok” sahutku.
Saya minum rutin
obat yang diresepi oleh dokter. Tapi saya masih tetap gemetar dan masih masuk
angin setiap malam.
Belum selesai
seminggu aku menemui dokter lagi, kali ini aku datangi dia di praktek waktu sore.
Ternyata sesampai ditempat praktek dokter Setiawan, dia hari itu off praktek. Terpaksalah
saya pergi ke dokter lain ke kota.
---
“Anda sering mengalami
keluhan seperti ini?” “iya dok” timpalku.
“Anda sering tremor?
Aku mengerinyitkan dahi gak ngerti kata tremor..
“gemetar? “ tanya
dokter pertanyaan ini sekaligus menjelaskan arti tremor itu. Ah.. kenapa saya tidak
kepikiran ya.. pernah saya mendengar ada gempa tremor di pelajaran IPS dulu, jadi
malu saya tidak tahu arti itu.
“Ya dok” jawabku lirih
karena menahan sakit perutku,
“Rambut anda rontok?”
tanya dokter itu lagi “Iya dok” jawabku lagi
“Ohhh… manggut
manggut dokter, beberapa waktu kemudian dia menjelaskan
“Anda sepertinya bukan
maag, ini sepertinya kelenjar tiroid anda bermasalah” kemudian dokter memintaku untuk melakukan tes
laborat.
Dan benar kelenjar
tiroid saya bermasalah. Ada hormone TSH, T3 dan T4 saya sangat tinggi. Akhirnya
setiap 3 kali dalam sehari musti mengonsumsi obat ptu (propylthiouracil) dan Thyrozole.
Anugrah datang
setelah 6 bulan pengobatan, aku masuk angin lagi, merasa badanku gak enak. Seperti
kehamilan pertamaku dulu. Feeling ku aku hamil. Untuk memastikan itu aku beli alat
test pack. Strip dua, “Alhamdulillah dapat karunia dari Allah lagi bi,” pekikku kegirangan.
---
Kehamilanku ku
sebut anugrah, karena dari beberapa artikel yang kupelajari, penyakit ini menyebabkan
kemandulan, hamil anggur. Tetapi ada was-was dalam hati karena di artikel itu
juga disebutkan beberapa kemungkinan keguguran.
Saat itu aku memilih
untuk berobat rutin di RSU karena bisa memakai klaim BPJS. Dan tidak harus
banyak keluar biaya untuk membeli obat di apotik. ada dua poli yang rutin ku
kunjungi yakni poli dalam dan poli kandungan. Meskipun begitu saya masih pengin
memastikan letak janin di bidan desa dan dukun beranak di desaku. Ah.. ini
mungkin karena aku sangat phobia dengan artikel artikel seputar hypertiroid
ini.
Obat yang ku
konsumsi pun tinggal 1 ptu, karena obat yang lain tidak ramah dengan ibu hamil.
Kata orang-orang di desaku “orang hamil itu jangan banyak banyak mengonsumsi obat-obatan,
bisa berpengaruh terhadap janin.” Kata mereka.
Padahal aku sehari
tiga kali. Non stop. Apabila stop maka hasil laborat akan naik lagi, obat itu
untuk menurunkan kadar tiroid, minimal menstabilkan untuk tidak naik. Kalau
kadar hormon nya naik maka akan gemetar, gelisah, dan tremor.
---
“Maaf mi.. abi
tidak bisa ngantar ke RS ya.. umi bisa sendiri kan?” meski muka suamiku
terlihat mangsul karena tidak bisa mengantarku ke RS karena pekerjaannya yang
tidak bisa ditinggal dia memohon maaf nya kepadaku pagi itu.
“Iya, aku bisa
sendiri koq” jawabku
Sebenarnya ada rasa
kesal dengan suamiku, pekerjaannya lebih penting daripada Kesehatan istrinya. Tapi
buru buru pikiran itu kuhapus, Dia kepala Keluarga yang harus mencukupi makan istri
dan kedua anaknya.
---
Dengan motor matic ku
ku ayunkan stang gas menggebernya menuju RS kota. Harus antri dengan beratus-ratus
calon pasien, tua -muda, penyakitnya biasa sedang sampe yang dengan pasien yang
harus menggunakan kursi roda dan dragbar harus ku jalani selama 8 bulan.
Menuju Poli dalam, ku
duduk sendiri di ruang tunggu pasien. Disana telah dipenuhi jugua oleh pasien yang
rata rata usianya sudah paruh baya ke atas, banyak pula yang melihat saya
dengan heran,
“anda masih muda
(ya saat itu usiaku masih menjelang 35 tahun), sendirian lagi sakit apa nak? “
tanya ibu tua aku duga ia pensiunan pegawai, karena meskipun tua dia masih terawat
dengan bedak dan cantik.
“Hypertiroid bu”
jawabku
Percakapan percakapan
mengalir begitu saja membunuh jenuh kami menunggu di ruang tunggu pasien.
Tibalah giliranku
menuju di panggil. Melalui speaker di atas plafond depan poli namau di sebut.
“Ibu Rukma Inayati”
Saya bangkit dari duduk dan menuju ke ruang pemeriksaaan. Hasil lab yang sudah
ditanganku, kusodorkan kepada dokter yang melakukan treatment kepadaku.
Masih ingat saya
nama beliau Dr. Rina Spesialis penyakit dalam, dia tahu kekhawatiranku tentang
penyakit ini, dengan Panjang lebar menjelaskan bahwa hamil dari penderita
hypertiroid itu tidak masalah, yang penting selalu mengonsumsi obat yang
diresepkan.
Namanya RSU, maka dokter
tidak bisa ku temui tetap, harus pasrah dengan dokter siapa yang hari itu bisa ada
di ruangan tersebut. Ada tujuh dokter yang tertera namanya di board depan poli
dalam. Sekian dokter yang ku temui punya opini masing-masing.
Dokter Mia ningsih,
S.PoG yang sudah tua dan banyak pengalaman, menyarankan saya untuk tidak melahirkan
secara normal. Disarankan untuk operasi.
“akan beresiko
tinggi karena anda punya penyakit seperti ini”. ucapnya
“baiklah dok..”
jawab saya.
---
Tibalah usia
kandunganku 8 bulan lebih 12 hari, dan kali ini kuminta suami menemaniku menemui
dokter di rumah sakit.
“Harus secepatnya
dilahirkan ini” ucap dr. Ulil. Dokter muda yang menanganiku saat itu,
Setelah mendapat beberapa
surat, aku menuju UGD untuk daftar persalinan secara SC.
Mendapat kamar di
bangsal RS. Dan jadwal telah operasi telah di dapat, “jam 06.00 pagi ya bu” kata
perawat yang merawatku.
“malam ini ibu
puasa, besok subuh ibu akan bersiap melakukan operasi, dokter memberikan obat
ptu ini dengan dosis lebih tinggi untuk ibu, supaya mengawal kelahiran anak
tidak kena hipertiroid”
Ku hanya bisa berdo’a
semoga tidak terjadi apa-apa saat operasiku. Jujur saja, aku takut bukan main,
bayanganku adalah bayangan terburuk, aku tidak bisa melihat anakku besok.
Menjelang subuh perawat
sudah sibuk menyiapkan cairan infus. Dengan jarum yang besar tidak seperti
biasanya orang sakit di infus, infus masuk dengan cepat ke tubuhku. Setengah jam
sudah dua infus masuk. Beberapa ampul lagi cairan kecil juga masuk ke tubuhku. Selesai
dari itu, perawat segera mendorong tempat tidur yang beroda it uke tempat operasi.
---
“Ibu mau di suntik
bius total apa lokal?” Tanya dokter di ruang operasi.
“Saya bius lokal
aja dok” jawabku
“baiklah saya mulai
ya bu..” sejurus kemudian dipunggungku disuntikkan obat bius, rasanya sakit. Sejurus
kemudian badanku terasa sangat dingin dan menggigil.
Semenit belum ada
tiba tiba aku sesak nafas dan tidak sangat sulit untuk bernafas. Aku berkata
dengan sekemampuanku..
“Sa ya ti
dak bi sa ber nafas” kataku terbata-bata..
Para kru operasi
terlihat agak panik, dan berlarian mengeluarkan alat Oksigen untuk membantu pernafasanku.
Proses operasi pun
setelah itu berjalan
“oooeekkkk” terdengar
bayiku menangis keras, aku dibawah pengaruh obat bius yang hanya separuh merasa
lega sekali. Perawat memperlihatkan bayi mungil itu kepadaku.
“Alhamdulillah..”
setitik air mata tanpa terasa mengalir di mataku. Setelah di bersihkan, di
timbang perawat itu berbaik hati memperlihatkan lagi kepadaku yang masih ada
di meja operasi, menyodorkannya ke
mukaku untuk ku cium dia.
---
Aku harus di rawat
di High Care Unit selama 8 jam, memastikan keadaanku tidak apa-apa. Karena
penyakit yang kuderita dan kejadian di meja operasi tadi. Suamiku sibuk
mengurus administrasi di ruang NICU untuk anak kami. Selepas jam 11 barulah
selesai prosesnya, aku di HCU sendirian tidak ada teman, disaat itulah aku
merasakan sakit yang luar biasa. Hilangnya pengaruh bius, membuatku harus
meringis bahkan menangis kesakitan.
“saat sakit
menyerang, tarik nafas pasrahkan semua nya pada Allah dik.” Aku ingat pesan itu
dari mbak Dini, Sahabatku yang sebelumnya aku cerita kalau aku mau operasi.
Aku Tarik nafas
dalam dalam dan berucap “Allahu Akbar, Alhamdulillah, Subhanallah” dan benar saja
sakit itu berangsur-angsur hilang. Setiap kali sakit datang aku selalu menarik
nafas dan berdzikir. Itu membantu hilangnya rasa sakit lebih cepat.
---
Suamiku akhirnya menemukanku..
Mukanya pucat, namun saat melihatku dia lega sekali. Sambil menahan tangisnya,
dia berkata
“Alhamdulillah mi,
aku tadi bingung dan panik saat menanyakan keberadaanmu, aku mencari-cari,
menanyakan kepada beberapa perawat di ruang operasi, katanya sudah di bawa ke
kamar. Aku ke kamar rawat inap tidak ada. Kembali lagi ke ruang operasi dan menanyakan
nama Ibu Rukma Inayati dimana? akhirnya dia mencari di catatanya katanya masih
di rawat di ruang HCU.” Jelasnya Panjang lebar.
Melihat kondisiku bagus
oleh perawat HCU malamnya saya dikembalikan ke ruang rawat inap.
---
Ada tiga dokter yang
memantau keadaanku
Dr jantung juga Dr.
Rina, spesialis penyakit dalam yang memantau perkembangan kesehatanku saat mau
dan sesudah operasi, mengatakan “Alhamdulillah, ibu tidak apa-apa, terus sehat ya
bu.” Ucapnya saat visitasi ke kamarku.
“terimakasih dok”
“sama-sama, segera
minta rawat gabung dengan anak untuk mempercepat proses penyembuhan ibu” saran
dari dia.
“baik dok” timpalku
mengiyakan
Dokter Mia yang menjadi
dokter kandunganku pun saat visit menyarankan segera melakukan rawat gabung
dengan anakku,
Sehari semalam aku
tidak melihat anakku setelah di ruang operasi. Rindu ini sangat rinduu. Ingin sekali
memeluk dia. Tapi menggerakkan tubuhku aja masih berat rasanya.
Aku paksa untuk duduk
sambil menahan nyeri di sekitar perutku akibat luka operasi. Aku tidak sabar
ingin melihat anakku.
Datanglah dr. anak (dr.
Amaya) bersama si kecil mungil bayiku..
“Ibu.. nanti
seminggu lagi anak ibu harus di tes untuk mengetahui kadar tiroid pada dia”
pesannya sesaat sebelum meninggalkan kami di ruang rawat.
Bahagia dan was-was
bercampur. Anak ini nanti bagaimana ya..?
---
Sepulang dari RS,
dirumah bersiap untuk melaksanakan Aqiqah anak ke tiga ini. Seminggu berlalu
dan kami mengunjungi lab RS bersama bayi kecil ini untuk di cek darahnya.
Tidak tega
mendengar tangis si kecil melolong saat jarum kecil menusuk tangan mungilnya. Tapi
demi dia aku kuatkan untuk memegang dan memenangkan dia. Beberapa tetes darahnya
dibuat sampel untuk mengetahui kadar Tiroidnya.
Ibu yang punya
penyakit kelenjar kelebihan hormon tiroid ada dua kemungkinan anaknya bisa hipertiroid
atau hipotiroid.
“kapan bisa
mendapat hasilnya?” tanyaku ke petugas lab. “Besok bu, besok sesudah dapat
hasil lab. Diserahkan ke dokter anak ya, siapa dokter anaknya? ” jawabnya
sekaligus bertanya.
“dr. Amaya” jawabku.
“Ohh.. ya langsung
ke beliau aja” jawab petugas lab itu.
---
“Anak bu Rukma ini kadar
tiroidnya rendah atau hipotiroid” jelas dr. Amaya membuka penjelasannya,
“lebih baik ibu
tidak memberinya susu ASI. Karena nanti akan berpengaruh dengan perkembangan
otaknya. Maaf ya bu, anak Hipo bisa mengalami Keterlambatan
pertumbuhan, Keterlambatan pertumbuhan gigi permanen, Peningkatan berat badan.”
Tambahnya.
“Ya Allah.. begitukah dok?” air mataku
menetes tanpa sadar.
Sedih sekali mendengar penjelasan bu Amaya. Sepanjang
perjalanan pulang hanya airmata yang meleleh di pipi tanpa ada suara tangis. Suami
ku pun hanya tercekat diam dan turut merasakan kesedihanku yang mendalam.
Sementara kelenjar susu ku penuh dan sakit
karena ikut saran dokter tidak boleh menyusui. Dengan alat penyedot ASI aku kurangi
tumpukan ASI di tubuhku. Setiap kali aku buang ASI itu ke wastafel, aku pasti
menangis. “Kasihan sekali engkau nak tidak bisa menyusu aku,” kataku dalam hati.
“Maafkan umi mu ya nak”
Dalam seminggu kesehatanku perlahan menurun
karena pikiran yang sedih. Suami ku semakin panik dengan keadaanku.
“Ayo kita ganti dokter anak. Mungkin ada saran
yang beda” ajak suamiku
“Ya kita harus ganti dokter,” kataku menyetujui
gagasannya
Tidak pikir Panjang kami langsung menuju ke
Kota mencari dokter anak lain. Ada itu Dr. Ana Sp. Anak kataku saat melihat nambor
praktek dokter di dekat alun alun kota.
Mendengar kisahku yang tidak boleh menyusui dan
melihat hasil lab anakku, dr. Ana manggut-manggut.
“Boleh saja ibu menyusui”
Kata – katanya bak oase yang menyiram
kekeringan jiwaku. Adem rasanya
“Ibu bisa terus pengobatan hipertiroid ibu,
dan menyusui anak. Setelah sejam minum obat baru anaknya di susui. Jangan langsung.”
Jelasnya
“Bonding dengan anak lebih penting bu, tidak
hanya kertas hasil lab yang membaca secara data, tapi segi klinis juga harus
dipertimbangkan. Kedekatan anak dan ibu bisa menambah imun dia dan merangsang
tumbuh kembang lebih baik” kata dr. Ana dengan bijaknya.
Alhamdulillah ya Allah.. Second Opinion itu
ada. Mengurai kesedihanku. Aku berjanji dalam hati akan menyusui anak ini
sampai batas waktu penyusuan selama 2 tahun. Saya berterimakasih saran dari dr.
Ana yang menyejukkan dan membantu menumbuhkan semangat hidupku untuk mengasuh
anak ku dengan sebaik-baiknya.
…
Komen yang tengah saja, Jane pasien an. Ibu Inayah kemana ya, kok hilang....
BalasHapusMga cpt ditemukan pihak keluarga
Subhanalloh Bu etik.... Perjuangan....
BalasHapusTerima PR buat nulis cerpen
Hapus