Krisis ruang privat



Zaman belum ada internet, komunikasi masih didominasi dengan kertas dan kantor pos. melalui korespondensi. Undangan lewat surat, bahkan berpacaran pun lewat surat.  Anak -anak sekarang tentu tidak tahu apa itu kartu pos, bagaimana tata cara menulis telegram/ surat kawat. Dan materi menulis telegram itu tidak lagi diajarkan di bangku sekolah.  

Ketika kita mencari kata telegram pun di search engine google, atau yang lain yang muncul adalah telegram berupa aplikasi. Sedikit sekali yang mengulas mengenai telegram/telegraph pada masa lalu.

Media sosial telegram di buat sama fungsi dengan whatsapp, mengirim pesan kepada orang lain. Tidak butuh waktu lama, bahkan hitungan sepersekian detik pesan itu sudah sampai kepada penerima.

Informasi informasi apapun bisa kita dapat dari media sosial. Saya sebutkan beberapa contoh medsos facebook, twitter, youtube, Instagram, tik tok,  atau yang bisa langsung bisa telpon dengan video, seperti whatsapp, duo, zoom, google meet.

Status yang kita unggah di media sosial, akan bisa dilihat oleh banyak orang. Status adalah cara kita mengekspresikan pikiran atau perasaan kita dituangkan dalam bentuk tulisan atau emoticon yang mendukung perasaan kita.

Dengan semakin terbukanya jejaring / medsos ini banyak remaja bahkan orang dewasa yang mengekspos kehidupan pribadi mereka. Ruang ruang privat yang sekiranya tidak perlu di perlihatkan di public, sekarang malah sebaliknya. mereka berlomba memamerkan kehidupan pribadi dan daerah privatnya ke public.  Disadari atau pun tidak mereka sadari efek kedepan bisa menimbulkan hilangnya ruang privasi mereka. Belum lagi apabila komentar yang diberikan orang yang pro dan kontra. bisa jadi akan mengganggu psikologis pengguna medsos itu sendiri. 

Alih-alih status yang kita buat atau di buat orang lain terkadang bisa menjadi boomerang, bilamana tidak bijak kita menyikapinya. Tidak sedikit yang mengeluh sekarang tidak punya privasi.

Add caption

Kita di tuntut akan kewaspadaan dan kedewasaan dalam memakai media sosial. Pakailah media sosial dengan bijak. Hal hal yang sekiranya tidak patut di ungkap di public, tidak usah di unggah. Ini akan menjadi rekam jejak digital kita di kemudian hari.

Perusahaan perusahaan sekarang banyak yang memakai rekam jejak digital di media sosial untuk mempertimbangkan pelamar pekerjaan diterima atau tidak. Akan sangat merugikan kita sendiri apabila kita tidak secara selektif memilih apa yang harus kita share dan apa yang harus kita “keep” untuk diri kita sendiri.

 

 


4 komentar:

  1. Kapan kira-kira situasi itu kembali seperti itu, bisa gak ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kembali gak bisa... Kecuali punya kantong ajaib nya Doraemon

      Hapus
  2. Pacaran pakai surat.... ehmm..

    BalasHapus

Featured Post

Perempuan sebagai Garda terdepan

Dalam rangka Milad FORHATI ke 26, yang jatuh pada tanggal 12 Desember Forhati Wilayah Jawa Timur mengadakan peringatan dibarengkan dengan mo...