Seorang penulis memerlukan suntikan. Namun suntikan ini tidak memakai jarum. Suntikan ini lebih kepada dorongan untuk mengembalikan semangat. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Ngainun Naim dalam sebuah webinar yang dilaksanakan malam ini oleh PC ISNU Ponorogo bertemakan penulisan artikel populer. Beliau mengatakan bahwa motivasi menulis itu ibarat iman “yazid wa yankus” bisa bertambah dan bisa berkurang.
Disaat kita berada pada titik kejenuhan menulis, maka
disitulah kita butuh ngecas kembali motivasi menulis kita. Memotivasi diri untuk
mengembalikan semangat bisa bermacam macam cara dan strateginya. Bisa dengan
meninggalkan alat tulis kita sebentar, jalan jalan atau mencari makanan favorit.
Bagi newbie seperti saya yang terjun dalam dunia
kepenulisan ini, tidak jarang saya mengalami kelelahan dan kehabisan ide untuk
menulis. Nah… Di situlah saya sangat butuh seseorang atau komunitas untuk me recharge
semangat menulis saya.
Ada saran yang luar biasa dari Bapak Sutedjo yakni dengan
mengafirmasi diri menghadirkan tokoh yang kita jadikan panutan didalam alam
bawah sadar kita. Kita mengafirmasi dengan menvisualisasikan mereka hadir dan
menginternal kedalam diri kita.
Saya yakin bukan karena ganteng dan cantik wajahnya kita
mengidolakan penulis, namun lebih kepada
ide ide mereka yang tertuang dalam karya karya mereka menjadi artikel, opini
bahkan buku. Bagaimana jatuh bangun mereka dalam menulis sebuah essay atau artikel
untuk terbit menjadi artikel populer di sebuah media cetak nasional.
Bagaimana menghadirkan rasa bahwa menulis itu adalah sebuah kebutuhan, sampai
merasa bersalah bila sehari tidak menulis.
Semua itu terletak kepada trampil dan tidaknya menulis. Terampil
bukanlah take for granted alias tanpa berlatih sudah bisa. Terampil itu
adalah suatu kegiatan yang dilakukan terus menerus. Pilot akan bisa dikatakan mahir
apabila telah melewati 10.000 jam terbang. Apabila kita analogkan ketrampilan
pilot itu kepada menulis, maka dalam 1 tahun kita butuh setidaknya 3 jam dalam
sehari beraktivitas menulis.
Prof Imam suprayogo menyarankan menulis. Ada sekian ratus
tulisannya yang sukses mengantarkan beliau keliling dunia. Tidak perlu indexing
scopus, menuliskan pengalaman pribadi, gagasan beliau tuangkan dalam sebuah
tulisan.
Bukankah kita dalam masa sekarang dimudahkan dengan media
online yang bertumbuh kembang dengan pesat? Tidak lagi sama dengan apa yang
dialami pendahulu kita yang menulis untuk ke sebuah artikel media cetak harus
bersaing dan berebut tempat. Tak jarang dalam mengirimkan artikel ke 25 kali
baru dimuat salah satu media cetak nasional. Wadah kita sekarang sangat banyak
dan terbuka lebar. Tinggal motivasi kitalah yang harus kita pupuk.
A big injection will make afraid
BalasHapusTerus menulis dan menulis.
BalasHapus