Memaknai kemerdekaan dalam pengasuhan dan Pendidikan Anak

 


Rasanya senang sekali bisa bergabung dengan para pakar psikologi hari ini. Kebetulan dua hari yang lalu di hubungi Psikiater Klinis RSSA Malang, Mbak Dini Latifatun Nafi’ati, M.Ps.I Psikolog Klinis, yang meminta saya untuk join dengan Ig Live (Instagram Live) nya beliau. Tema yang diangkat saat ini adalah memaknai bulan kemerdekaan dalam pengasuhan dan Pendidikan anak. Beliau mengundang saya sebagai praktisi Pendidikan sekaligus ibu yang merelakan anaknya mondok di usia dini.

Bersama pakar psikolong yang luar biasa Mbak Baiq Wahyu Riski Purnama yang akrab disapa mbak Dini dengan sebutan tante Mimah. Mungkin sebutan ini untuk menyebutkan ke anak beliau nanda Taqi, Atqa dan Tasnim. Dalam acara kurang lebih 1 jam di jam 12:00 pada tanggal 17 Agustus 2022 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-77.

Saya banyak mendapatkan banyak sekali pelajaran dari bincang Ig hari ini bagaimana tentang konsep merdeka dalam parenting. Merdeka versi anak mereka bisa menjalani prosesnya sebagai anak tanpa banyak intervensi dan belenggu dari lingkungan sekitar tak terkecuali orang tua sendiri. Merdeka versi orang tuapun dikatakan oleh mbak mimah Orang tuapun juga tidak boleh berstigma bahwa anak adalah belenggu untuk beraktivitas orang tua. Banyak orang tua yang merasa bahwa kegiatan mereka tidak bisa sebebas dulu kala sebelum anak. Anak menjadi tali pengekang kebebasan orang tua sehingga dia melakukan aktivitas dengan tidak ceria dan merasa terbebani.

Bila ditinjau lebih lanjut, baik dari sisi orang tua dan anak berada pada fase yang berbeda. Orang tua menginginkan anak segera melakukan sesuai apa yang diinginkan sedangkan fase anak adalah anak melakukan dulu baru dia berfikir. Tidak ada anak yang berniat menyusahkan orang tua. Yang ada adalah ketidaknyambungan kehendak anak dan kehendak orang tua.

Perkembangan otak yang berbeda juga menjadi kendala sehingga muncuk gap atau problem antara anak dan orang tua. Orang tua memberikan ekspektasi terlalu tinggi kepada anak, sedangkan anak belum sampai berfikir kearah yang difikirkan orang tua. Kalimat larangan saat anak melakukan sesuatu itu dihasilkan dari fikiran orang tua. Contoh anak yang belajar menggunting, banyak dari orang tua yang langsung mengingatkan untuk tidak memegang gunting nanti tangannya terluka. Belajar bermain sepeda secara spontan orang tua mengatakan awas.. nanti jatuh.. ini adalah hasil pikiran orang tua yang anak dalam memorinya belum merekam pengalaman, inilah kemudian yang menjadi problem relasi orang tua dan anak. Anak cenderung memberontak dan tidak mau dilarang. Bahkan tidak mau melakukan yang di suruh oleh orang tua.

Menurut mbak Mimah, Anak yang usianya belum 25 tahun perkembangan otaknya. Butuh banyak Latihan untuk merdeka dalam mengambil keputusan dan merdeka dalam pikirannya. Mereka lebih kepada bertindak dulu sebelum berfikir. Butuh Latihan terus menerus untuk bisa berfikir dengan matang dulu dan bertindak.

Resep yang diberikan oleh pakar psikolong yang memiliki rumah tabinda, rumah konsultasi seputar anak, dengan metode PQRS P= Pantau. Kita sebagai orang tua sejauh manakah membersamai anak. Sudah sampai apa tahap perkembangannya.

Q = Quality time, ada waktu waktu berkualitas untuk anak. Bukan dari segi banyaknya waktu bersama anak tapi terkait dengan sentuhan, apresiasi, motovasi, inteaksi kontak mata

R itu merupakan Role model = kita sebagai orang yang menjadi teladan dan dilihat anak. Metode pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang paling nyantol dianak. Karena mereka merekam apa yang mereka lihat. Mengimitasi apa yang mereka lihat pula. They do what they see. Makanya kita harus benar benar menjadi role model yang baik terhadap anak. Kita menyuruh anak untuk diam dengan berteriak. Hasilnya anak akan meniru teriakan kita bukan diamnya.

Yang terakhir adalah S yaitu Stimulasi = yaitu memberikan stimulasi saat anak belum mampu mencapai tahapan perkembangannya. Stimulasi ini sangat mungkin dilakukan oleh orangtua yang memiliki kelekatan yang lebih dengan anak. Namun ketika oramh tua tidak mampu menstimulasi perkembangan anak bisa berkonsultasi dengan ahlinya.

Sedangkan saya lebih berbicara mengenai praktik membebaskan anak dalam memilih. Saya sampaikan untuk anak anak di sekolahan kami sengaja untuk menciptakan budaya memilih dan mampu bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. Mulai dari pemilihan ekstrakurikuler yang mereka senangi, tawaran madrasah adalah membatik, elektronika, pembuatan jamu, khitobah, MTQ, cinematic, fotography dan lain lain. Mereka secara sadar dan tanpa paksaan untuk memilih ekstra tersebut.

Tak terkecuali di rumah saat di kulik oleh mbak dini  mengenai pembebasan anak akhirnya memilih jalur pesantren di usia dini, saya menjelaskan bahwa tidak ada orang tua yang tidak mau anaknya baik dan sholeh. Namun sebagai orang tua saya memberikan pilihan pilihan kepada anak untuk bersekolah dimana tentu saja dengan menjelaskan beberapa konsekuensi saat memilih pilihan itu.

Mondok itu bukan hal yang mudah, banyak tekanan dari sejawat, aturan yang ketat, harus mandiri. Suatu saat anak bisa jadi tidak kerasan, tapi alhamdulillah sampai saat ini anak saya bisa bertahan di tempa fisik, mental dan batinnya. Sebagai orang tua tak hentinya mendoakan mereka untuk bisa dilancarkan segala proses belajarnya. Sebagai fasilitator saya hanya semampunya menfasilitasi anak untuk meraih cita cita mereka. 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustak...