Saya masih tersenyum sendiri bila mengingat keunikan takdir yang membawa saya kepada acara di Bondowoso, diadakan oleh sahabat pena kita. Betapa tidak, sejak awal di grup whatsapp milik sahabat pena kita kabupaten Tulungagung, sejak sebulan yang lalu tepatnya bulan Juli tanggal 7 saya sudah menetapkan hati untuk tidak mengikuti acara tersebut. Hal yang menyebabkan saya tidak ikut ada beberapa diantaranya kegiatan Olimpiade Sains Madrasah yang diselenggarakan Ma’arif NU diselenggarakan Sabtu tanggal 5 Agustus, selain itu persiapan ANBK (Asesmen Nasional berbasis Komputer) untuk anak kelas VIII. Meski pelaksana adalah guru dan proctor sebagai kepala madrasah saya merasa perlu membersamai mereka.
Lima hari
menjelang keberangkatan, ada pesan masuk yang berisi tautan masuk grup. Sebelum
saya membaca tuntas sambil mengobrol dengan teman guru di madrasah tanpa
sengaja tautan itu terklik oleh saya. “Astaghfirullah” pekik saya dalam hati.
Ada rasa sedikit menyesal kenapa saya masuk dengan tidak sengaja. Tapi sapaan ramah
Prof Naim di grup dengan ucapan selamat datangnya membuat saya sungkan untuk
keluar.
Sesaat saya
mencari alibi untuk bisa menghindar dari perjalanan ke Bondowoso dengan
bertanya apakah lewat jalan kecamatan saya? Bila jawabannya tidak saya akan
tidak sungkan bila mengundurkan diri. Tapi ternyata mas Fahru yang ternyata
domisili satu kecamatan dengan saya menimpali, akan ikut mencegat kendaraan
bersama. Akhirnya saya meyakinkan hati bahwa saya adalah orang yang diberkahi
dengan takdir harus mengikuti acara ini.
Benar saja,
perjalanan ke Bondowoso membawa banyak pengalaman dan menggunggah semangat
dengan bertemu banyak orang hebat dalam dunia menulis, bahkan bonusnya adalah
bisa berkunjung ke dua pondok pesantren besar di Bondowoso. Diterima dengan
sangat ramah dan kami semua saya rasa punya cukup banyak hal yang bisa diserap
dari pak Kyai dan bu Nyai dari kedua
ponpes ini. Sekali lagi saya membuktikan bahwa filsafat pisau yang tumpul akan
tajam apabila terus bergesekan benar adanya. Karena ibarat pisau tumpul itu
adalah saya yang lama tidak menulis. Dengan gesekan semangat dari pembina SPK
untuk menulis lagi. Maka sekarang mulai mengasah lagi ketajaman menulis ini.
n Profil Ponpes Modern Al Ishlah Bondowoso
Rombongan
dari Tulungagung tiba di Bondowoso pukul 21:00 di Pondok Pesantren Modern Al
Ishlah di Kecamatan Grujugan Kabupaten Bondowoso. Disambut oleh mas Febri (saya
tahu setelah mendengar para senior SPK menyebut nama beliau), beliau salah satu
Ustadz di Mu’adalah PP Al Ishlah Bersama Ustadzah Afifah, putri kedua dari
Pendiri dan pengasuh Pondok Al Ishlah Abi KH. Muhammad Ma’shum (allahuyarham).
Ponpes ini
bermula dari hanya sepetak tanah yang berdiri diatasnya sebuah masjid yang
berdiri sejak tahun 1967. Bangunan itu sekarang dibuat sebagai GSG (Gedung
Serba Guna). Tanah untuk Ponpes sekarang semakin luas dengan jumlah santri yang
cukup besar sekitar 1000 santri baik putra maupun putri. Santri KMI dimulai
dari kelas 1-6. Setara dg tingkat
SMP/Mts dan SMA/MA.
Selain siswa
KMI kelas 1 – 6, di ponpes Al- Ishlah ini berdiri pula beberapa unit Pendidikan.
Seperti PAUD/TK, SD, SMP Plus, KMI, dan STIT, yang bila di jumlah seluruhnya kurang
lebih 2000 santri disana.
Pondok Al
Ishlah ini merupakan pondok alumni Gontor. Berbeda dengan cabang, pondok Alumni
lebih leluasa untuk mengembangkan kurikulum dengan kekhasan daerah
masing-masing tanpa harus berkewajiban mengikuti kurikulum Mu’alimin yang
terapkan oleh Gontor 100 %.
Umi Afifah
yang ramah menjelaskan beberapa konsep mulai dari pembiayaan dan kurikulum yang
ditetapkan oleh PP modern Al Ishlah Bondowoso ini. Menurut umi Afifah ada tiga
skema pembiayaan yang ditetapkan oleh pondok adalah Banuh, Basa dan Taba.
Banuh adalah
Bayar penuh, artinya santri membayar semua pembiayaan yang dirincikan oleh
pihak pondok. Biaya sebulan yang menurut pandangan saya masih dalam kisaran
sangat wajar. Bagi siswa yang mampu mereka bayar penuh. Basa artinya bayar
sesuai kemampuan, mereka bisa membayar sesuai dengan kemampuan perekonomian
orang tua. Dan taba adalah tidak bayar sama sekali. Kriteria tidak bayar sama
sekali adalah juga sangat longgar. Tidak ada paksanaan dan tagihan juga dalam
hal pembiayaan. Pesan KH. Muhammad Ma’shum adalah “ada tidak ada saya system
ini harus tetap jalan. Karena yakinlah bahwa Intansurullah yansurkum” (QS
Muhammad:7) Allah akan menolong siapa yang menolong Agama Allah.
Pesantren ini
juga menerapkan bengkel manusia (seperti yang disampaikan Prof Mujamil dalam
Bukunya Strategi Pendidikan Islam). Sekolah yang bermutu bukan dilihat dari
input bagus, proses bagus dan keluaran bagus. Itu sudah biasa. Mereka tidak
menerapkan system ujian dan nilai untuk menjadi patokan masuk santri, tetapi
semua diterima, tes masuk hanya untuk mengelompokkan pembelajaran dari
masing-masing santri baru dan Proses serta output yang bagus itu baru yang
dinamakan madrasah bermutu.
Bila masuknya
sudah diseleksi, input yang bagus keluaran yang bagus adalah sebuah hal yang
lumrah. Yang luar biasa adalah saat masukan itu semua masuk tanpa saringan
seleksi dan bisa berproses didalamnya dan menghasilkan lulusan yang bagus.
Tagihan yang
harus diselesaikan siswa keluaran Ponpes Al-Ishlah ini adalah harus menghafal 8
Juz Al-Qur’an beserta terjemahannya dengan metode Ummi. Namun meskipun
kelonggaran diberikan oleh pihak pondok saya Bersama Dr. Eni Setyowati berbisik
dengan takjub karena melihat sebuah mobil dengan stiker wakaf alumni Angkatan
sekian. Sehingga bisa diartikan santri yang masuk di pondok ini adalah anak
yang mampu dan mau belajar dan mensedekahkan harta untuk kemaslahatan.
n Sambel khas
Selama di
Ponpes Al Ishlah kami sangat berkecukupan makan yang enak, cerita dari mas
Febri Idul Adha ini di Ponpes ini menyembelih ratusan ekor sapi dan ribuan
kambing, yang sampe sekarang dagingnya masih bisa dibuat konsumsi santri-santri
pondok. Salama di sana juga tidak pernah absen daging sapi di meja jamuan
makan.
Para penasihat SPK Pak Ngainun Naim, Pak Emco, dan ketua SPK Pak Dr. Arfan Muammar di meja makan terlihat sangat menikmati sambel khas dari pondok itu. Kelakar pak emco meski belum bisa ngepasin rasa. Sambelnya pedes sehingga harus nambah nasi dan lauknya, trus nasi nya masih akhirnya nambah sambel lagi.
Sambel khas
ini bahannya cabe dan tomat mentah yang langsung di uleg di cobek tanah liat,
di tambah jeruk sambel diatasnya, rasa pedas segar dan ada sedikit asem
menambah selera makan. Apalagi di cocol dengan terong kecil kecil yang belum
pernah saya temui di daerah Tulungagung, rasanya uenak.
Bu Eni dan bu
Rodiah tampaknya sedikit takut untuk makan sambel tersebut, takut sakit perut,
tapi meski pedes dan saya juga termasuk yang mengambil jatah sambel agak
banyak, Alhamdulillah aman saja di perut saya. Seger dan nagih sekali sambel
ini. Saya akan coba praktekkan membuat
sambel legit ini di rumah.
n
Petuah
Abi KH. Thoha Yusuf Zakariya, Lc.
Pagi hari
selesai sarapan kami diajak Prof. Naim dan para penasehat SPK sowan ke Abi
sapaan untuk KH Thoha Yusuf Zakaria Lc. Beliau ternyata baru pulang Haji
Furoda. Haji panggilan raja yang tanpa ada waktu tunggu seperti haji biasa.
Sekarang daftar haji biasa waiting listnya bisa 30 tahun kedepan. Sangat
beruntung kami disuguhi air zam zam dan kurma sukari asli dari Mekah. Dalam
hati saya berdoa semoga kelak saya bisa haji dan umroh, “allahumma inni
asaluka ilman nafi’an wa rizqon wasian wa syifaan min kulli daain”.
Anak pertama
dari Abi kuliah di Al Madinah, selama Abi melaksanakan haji furoda, putra
beliau dipanggil pulang dari Madinah untuk menggantikan mengurusi Pondok Al
Ishlah ini. Sebelum abi Keluar menemui para tamu, kami ditemani oleh anak
pertama Abi, perangai beliau yang sopan luar biasa membuat kami merasakan kehebatan
akhlak yang dicetak di pondok pesantren ini.
Sesaat
setelah Abi menemui para tamu, dengan ramah dan bersahabat sekali, beliau memilih
berkenalan satu persatu sebelum berbincang-bincang dengan prof Naim dan para
dewan penasehat dari SPK. Dalam bincang santai yang bisa saya dapatkan pagi itu
adalah makna KIAI. Istilah KIAI ini menurut beliau disebut dengan Kamilul
Ilmi, Akhlaq wa Imam. Yang dijelaskan oleh beliau bahwa sebutan KIAI itu
yang tuntas ilmunya, akhlaknya dan pemimpinnya.
Dawuh beliau
selanjutnya terkait dengan dakwah. Dakwah itu bisa dengan lisan, Qolam, Qodam. Dengan lisan bisa dilakukan oleh da’I dan
da’iyah yang ada di Mimbar, oleh pengajar di kelas dan menyerukan kebenaran dengan
lisan mereka.
Kalau sahabat
pena kita ini adalah dengan qolam yakni dengan tulisan, dalam al-qur’an
setidaknya yang saya ketahui dalinya adalah surat Nun : 1 yang artinya Nun,
Demi pena dan apa yang mereka tuliskan”. Selanjutnya surat al alaq yang
artinya “bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang mengajarkan (manusia)
dengan Qolam (pena)”.
Sahabat pena
yang bergelut dengan tulisan, harus bisa berdakwah melalui media tulisan.
Tulisan yang lembut yang menyelusup ke relung hati, dan bisa pula tulisan itu
tajam menghujam. Janganlah takut mengatakan kebenaran melalui tulisan. Tulisan
bisa menjadi pedang yang membabat kemungkaran, tulisan bisa mengubah peradaban
manusia juga. Tulislah dengan Tulisan kebenaran yang mampu menggetarkan dinding
istana yang kokoh sekalipun.
Yang terakhir
adalah dengan Qodam, Abi memaknainya dengan metode dakwah secara berjalan,
laksana teman seiman kita yang sering daulah di masjid-masjid berjalan kaki dan
menyeru kepada kebenaran. Mereka tidak perlu dimusuhi, mereka adalah teman seiman
kita. Ucap beliau.
KH. Thoha jago
sekali dalam membuat singkatan-singkatan istilah. Seperti pada saat kalimatut
tarhib saat pembukaan seminar beliau menyampaikan Pondok Al-Ishlah ini dilabeli
sebagai pondok pesantren radikal yaitu moderat rasional terdidik
mendidik dan berakal bisa jadi istilahnya religius atau universal.
Label
selanjutnya adalah pondok Al Ishlah itu pondok teroris setiap orang yang
datang ke Bondowoso itu menakut-nakuti kepada semua orang yang dating ke sini.
Padahal arti teroris menurut kami adalah ternyaman terindah dan romantis.
n
Seminar
Masa Depan Perbukuan Indonesia
Seminar literasi
Nasional oleh SPK ini mengambil tema masa depan perbukuan di Indonesia. Digelar
di Gedung Serba Guna Ponpes Al- Ishlah Bondowoso. Acara di mulai pukul 09:00
sampai 12:00. Di seminar itu puluhan santriwan dan santriwati dengan tertib
mengikuti acara sampai selesai.
Seminar ini
dihadiri oleh Abi Toha Yusuf Zakariya, pengasuh Ponpes Al-Ishlah, Kyai Masruri
pengasuh Ponpes Darul Istiqomah, Ketua SPK, dan pembina SPK lainnya. Untuk pematerinya
adalah Prof. Ngainun Naim, M,HI dan Muhammad Hairul S.Pd, M.Pd. acara di moderatori
oleh Dr. (cand) Febri Suprapto. Setelah sambutan dari ketua SPK dan kalimat
selamat datang dari KH M
Pemaparan dari
Prof Ngainun Naim selaku pemateri pertama saya rekam dengan penuh seksama. Dengan
gaya Bahasa yang khas dan lugas penuh dengan humor prof Naim mengantarkan
materinya. Beliau memotivasi seluruh peserta dengan menceritakan pengalaman pertama
kalinya ikut pelatihan jurnalistik.
“Pelatihan
jurnalistik itu hal yang pertama kali saya ikuti di masa itu pelatihan itu yang
membuat saya punya mimpi. mimpi untuk bisa menulis. kebetulan di pesantren kala
itu itu ada koran dinding. koran itu ditempel di papan kaca. Setiap selesai
ditempel oleh pengurus pondok langsung menjadi rebutan para santri. saya selalu kalah karena postur kalah besar
dengan teman yang lain. Karena itu saat sore hari say abaca koran dari halaman
awal sampai khatam. Dari situ saya membangun niat untuk menjadi penulis“
Penulis itu
modalnya Nekad. Tidak perlu banyak teori bahasa Indonesia. Karena kebanyakan
dari kalian nanti tidak sibuk jadi penulis tapi lebih banyak menjadi komentator.
Tulisan tidak pernah muncul bila kebanyakan komentar. Lebih banyak praktek. Dengan
kata lain menulis itu dengan menulis
Profesor menyinggung
pula konsep berkah ketika menulis. Beliau menceritakan pengalamannya saat menulis
diterbitkan oleh penerbit Mayor tapi tidak mendapat royalty. Prof Naim berkeyakinan
rezeki itu datang dari mana saja. Keberkahan demi keberkahan dari tulisannya
sampe membawa beliau berkeliling Indonesia dalam rangka menjadi pemateri dan pembicara
dari tulisan yang dia tulis. Satu provinsi aja yang belum beliau kunjungi yakni
prov. Papua Barat.
Menjadi
penulis sama dengan menjadi pembelajar, kita harus banyak memiliki referensi
buku, harus banyak membaca dan memulai menulis. Menulis diibaratkan seperti
kata “sabar” bisa diungkapkan akan tetapi sulit untuk dipraktekkan. Apabila ada
teman sakit kita mudah sekali mengatakan sabar, tapi bila kita yang mengalami
sakit dan yang lain berkata sabar.. sakitnya tuh disiniii
Menulis itu
sesungguhnya mengikuti teori 10.000 jam. Kalau masih menulis 5 halaman dan
mengalami kesulitan, maka wajar dan teruskan belajar menulis. Sampai menulis itu menjadi sebuah ketrampilan, sesuatu yang tanpa
difikir sudah bisa keluar saat jari sudah
menyentuh tuts keyboard laptop atau komputer. keterampilan itu kita melakukan
sesuatu tanpa berpikir jadi yang namanya skill itu reflektif begitu ada ide otomatis
lah menulis.
Saat bingung
menulis apa, prof Naim menjelaskan supaya tiga jam layar computer kita tidak
hanya putih bersih, memullai menulis itu tentang sesuatu yang kita kuasai dan
kita bisa. Tidak perlu memaksakan diri menulis yang sulit dan tidak kita kuasai
Manfaat menulis
menurut prof Naim ada tiga, Dia menyebutnya dengan 3 J pertama Jeneng = Nama.
Penulis namanya tetap tidak lekang
oleh masa. Karya yang diterbitkan bisa dibaca banyak orang, saat orang belum
pernah ketemu penulis buku. Pembaca sudah berkenalan dengan penulis lewat nama
yang terpapang sebagai penulis. Kedua Jenang
= manfaat atau keuntungan, bisa dari sisi materi maupun finansial. Ada sebuah
novel yang sangat terkenal yang saat diterbitkan penulisnya tidak tahu kalau itu
diterbitkan dan menjadi mega best seller dizamannya. Novel itu dibaca oleh seorang
wartawan yang melihat laptop seseorang terbuka dan diambillah kemudian dicetak.
Itulah novel andrea hirata dengan Laskar pelanginya. Terakhir Jangka = durasi waktu penulis
itu dikenal dalam waktu yang lama.
- Saya sedikit
geli saat mendengar adik adik santri yang duduk dibelakang saya saling berbisik
menanyakan istilah jeneng itu, maklum saya mereka kebanyakan bahasa yang
dipakai sehari-hari bukan Bahasa jawa tapi Bahasa Madura.
Saat ini
dunia perbukuan mengalami perubahan, buku bermetamorfose menjadi dua yakni cetak
dan buku digital. Buku yang diterbitkan akan lebih bermakna bila memiliki ISBN.
Bagi guru buku BerISBN juga bisa digunakan untuk naik pangkat sebagai angka
kredit. Apabila sekarang ISBN susah didapatkan karena berbagai persyaratan yang
harus dipenuhi lebih banyak dari dahulu. Ada QRCBN yang bisa kita akses.
n
Ponpes
Daris (Darul Istiqomah)
Tidak jauh
kurang lebih 5 kilo meter disebelah selatan Ponpes Al Ishlah, berdiri sebuah
pondok Darul Istiqomah di daerah Pakuniran, Maesan Bondowoso. Pesantren Putra putri
dibawah asuhan KH. Masruri Abdul Muhit, Lc. Salah satu penasehat SPK. Beliau
sangat humble dan sederhana. Kami sowan ke rumah beliau yang berada di tengah
tengah pondok. Bangunan rumah yang paling sederhana diantara gedung-gedung
pondok yang megah, namun suasana penuh kehangatan Kyai dan Bu Nyai menyambut
rombongan SPK di Ponpes Daris ini.
Bu Nyai
Masruri menceritakan kepada kami sekarang beliau telah dikaruniai 12 cucu dari
4 putra dan putrinya. Putri bungsu beliau yang kelima masih belum menikah dan
masih kuliah beasiswa disebuah perguruan tinggi internasional di Jakarta. Selama
pandemi berlangsung kuliah diselenggarakan secara online, keuntungannya adalah
bisa mengerjakan tugas sambil rebahan di kamar.
Meski baru
pertama saya bertemu bu Nyai Masruri, saya sangat berkesan keramahan beliau dan
antusiasme beliau menceritakan perjalanan hidupnya mendampingi pak kyai
masruri. Beliau tidak pernah menerima uang gaji dari Bapak, karena uang itu
semuanya diperuntukkan pembangunan pondok pesantren dan beliau biasa saja tidak
sekalipun meminta. Saat pak Kyai Masruri pensiun, maka beliau pun juga sudah
tidak kaget lagi dengan tidak diberi uang belanja. “Alhamdulillah keluarga
tercukupi, karena kami melakukan semuanya demi agama Allah. Maka kami yakin Allah
akan bantu semua urusan kami” ungkap beliau.
Yang paling
mengharukan adalah proses persalinan anak kedua dari bu nyai yang kala itu masih
ada di pulau Sumbawa, di rumah panggung dan saat itu fasilitas sangat minim. Tenaga
Kesehatan – bidan itu terletak setengah jam dari daerah pondok. Proses melahirkan
anak kedua disana yang sangat dramatis mengundang air mata saya keluar dari
persembunyiannya. Sebagai sesama perempuan yang telah melalui proses persalinan,
maka kekuatan mental beliau dalam menjalani perjalanan hidup di daerah terpencil
dan minim akses sungguh membuat saya terharu. Keyakinan beliau terhadap
pertolongan Allah yang menumbuhkan kekuatan. Subhanallah.
Di Ponpes ini diselenggarakan prosesi LPJ dan pemilihan ketua SPK yang baru. Saya sebagai anggota SPK cabang Tulungagung hanya sebagai peserta peninjau, artinya tidak mendapat hak untuk memilih. Namun kami mengamati proses pemilihan yang sangat demokratis dan jauh dari ambisi untuk menjadi ketua. Meski mereka semua yang menjadi kandidat kapabel menjadi ketua, harus ada satu nakhoda untuk menggantikan pak ketua SPK lama – Bapak Dr. Arfan Muammar. Saat itu terpilih Dr. Agung Nugroho cs yang mengungguli ibu Dr. Hitta meski tipis sekali terpaut 2 suara.
n
Kata
Kata Mutiara
Ada beberapa kata
kata yang sempat terekam dalam ingatan saya saat berada di sepanjang
kebersamaan kopdar IX di Bondowoso ini, antara lain
SOS= Sopo
Orang Sibuk. Ini sebuah buku karya pak Khairi yang dikenal dengan nama Emco. Tapi
menggelitik setiap hati kita dengan Bahasa provokatif ini. Setiap kita sibuk
dengan segudang pekerjaan masih harus menulis. Kalau menuruti sibuk kita, kita
tidak akan bisa berkarya dengan tulisan. Padahal tulisan itulah peninggalan
kita yang bisa mengabadikan nama kita.
P4 = Pagi Pegawai
Petang Penulis, yang membuat tidak ada alasan lagi kita bisa mengelak untuk menulis
apapun pekerjaan kita.
Mantap. Lengkap. Detail
BalasHapusterimakasih prof
Hapus