Suara guruh yang menggelegar beberapa kali sedikit banyak menyurutkan semangat saya mengikuti njagong santai di zoom bersama Bapak Fahru dan Dr. Ngainun Na'im. Namun dengan menghela nafas panjang sembari berucap Bismillahirrahmanirrahim saya tekatkan untuk tetap mengikuti acara
bincang santai ini, dalam hati saya berdo'a semoga tidak terjadi gangguan akibat kilat dan guruh yang bersahutan terhadap peralatan elektronik yang membantu saya mengikuti njagong virtual ini.
Njagong selama hampir 2.5 jam ini dikemas secara santai dan rasa kebersamaan yang sangat renyah. Peserta yang hadirpun ada dari luar pulau Jawa. Saya bersyukur bisa bertemu banyak orang hebat yang sudah menerbitkan buku. Baik secara Ontologi maupun Pribadi dan beberapa dari penulis sudah mampu menembus ke penerbit mayor, maupun menerbitkan secara mandiri. Perbincangan mengalir dengan santai meskipun materinya bernas
dan berat. Dan malam ini mendapatkan magic moment yakni
menikmati menulis itu dengan enjoy saja tanpa paksaan dan tanpa menjadikan
tulisan itu sebagai beban.
Dijelaskan oleh seorang peserta bahwa Prof Amin Abdullah mengatakan Jangan banyak
membaca. Nanti engkau tidak akan jadi penulis, membaca itu tidak berbanding lurus
dengan menulis. Banyak membaca akan semakin membingungkan dan tidak jadi engkau
akan menulis. Karena tulisanmu belum tentu sebagus buku yang kau baca.
Saya berfikir memang ada benarnya. Beberapa artikel yang saya
baca di kolom kompas, Republika, jawapos semua bagus-bagus dan saya yakin tidak
mampu membuat artikel sebagus itu. Minder dan merasa tidak mampu menulis
sebagus itu merupakan toxic yang melumpuhkan semangat menulis. Racun ini bila
tidak segera ditangani, maka pasti kejadiannya bisa fatal. Yakni tidak usah
menulis dan tidak usah menjadi penulis.
Pernyataan Prof Amin Abdullah ini sangat bertolak belakang
dengan perilaku beliau dalam keseharian. Beliau sangat rajinmembaca. Penuturan
Bapak Ngainun Naim yang melihat sendiri dengan mata kepala saat perjalanan
di pesawat Surabaya-Makasar selama 2,5 jam beliau membuka buku membaca,
menstabilo dan mencoret-coretnya. Beliau mengkritisi buku tersebut. Inilah yang
dikatakan ketika kita Membaca tanpa diikuti sifat kritis itu akan bisa menjadi
racun. Membaca tanpa sifat kirits bisa
menjadi penganut dan pemuja sang penulis.
Menjadi kritispun tidak serta merta taken for granted.
Semua itu berawal dari mempelajari dan terus menerus mengasah kemampuan nalar
kiritis kita. Saat menjadi mahasiswa diskusi dan Aksi menjadi salah satu cara bisa
melihat fenomena dan mengasah nalar kritis kita. Saat menyandang status Sarjana
kemungkinan aksi lebih sedikit, namun diskusi adalah hal yang bisa kita tradisikan
untuk tetap mengasah ketrampilan berfikir kritis.
Bukankah di Abad 21 ini yang didengungkan adalah ketrampilan
terapan bukan lagi ketrampilan dasar. Kita dituntut untuk berkolaborasi, berinovasi
dan memecahkan masalah dengan fleksibel dan juga berfikir kritis.
Catatan yang keren Bu Eti🎉
BalasHapusTerimakasih Bu dosen.. mohon diberi masukan
HapusMantap...salam kenal...
BalasHapusSalam kenal bu
HapusTetap semangat bu eti. Semoga tetap istiqomah menulis
BalasHapusTerimakasih pak pri
BalasHapusCatatannya keren Bu. Bahasanya ringan. Hanya saja ada beberapa kekurangan bu. Maaf.
BalasHapusPertama istilah yg pas adalah antalogi, bukan ontologi Bu. Kalau ontologi,salah satu cabang filsafat.
Kedua, penutup tulisannya agak gantung. Jadi saya kurang puas. Hehe
Terimakasih masukannya untuk yang pertama
Hapusyang kedua memang di buat menggantung (hehehe)
Mungkin juga bukan antalogi yang dimaksud. tapi Antologi
HapusTulisan yang keren, maaf sebelumnya untuk penggunaan huruf kapital perlu diperhatikan Bu🙏
BalasHapusNggih terimakasih masukannya
Hapus