SILENT REVOLUTION




Saya tidak pernah membayangkan dunia tekhnologi ini berkembang pesat secepat ini. Kecil saya masih bermain gundu, bermain "plinthengan", bermain masak masakan dan jualan dari pelepah pisah yang di iris sedemikian rupa, di namai wajik, iwak pethek, teri-terian, tahu, tempe dan lain sebagainya di belakang rumah dengan membuat rumah gubung beratap daun pisang. Jauh dari Youtube, Angry bird yang bermain plinthengan (ketapel) maya. Jauh pula dari namanya Handphone (gawai). 

Tahun 2000 an mulai marak dengan namanya telepon genggam, dan semakin pesat berkembang sejak adanya pandemi virus yang melanda dunia di awal tahun 2020. Hampir seluruh gerak manusia ditemani oleh aplikasi dan platform. Mulai dari dunia kerja, pendidikan, perdagangan, dan bisnis. Pertemuan pertemuan virtual  semakin  marak sejalan dengan berjamurnya platform baru terkait dengan video Conference. 

Banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah berubah yang tanpa kita sadari terjadi dan memaksa kita beradaptasi didalamnya. Mengadaptasi kebiasaan yang baru seperti sekolah yang dulu tidak boleh membawa HP sekarang HP menjadi barang wajib yang harus dimiliki siswa, sekolah tidak perlu membawa buku, cukup mengerjakan lewat google form,  siswa tidak perlu berpakaian seragam ke sekolah karena cukup mengerjakan kelasnya virtual dan di rumah atau di tempat tempat yang memiliki fasilitas Wi Fi. Ini yang di sebut dengan Silent Revolution. 

Istilah silent revolution di Indonesia sebenarnya telah dikenal sejak zaman Reformasi 1998 yang melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan dan  2009 saat partai partai politik mengubah cara penetrasi ke konstituen dari cara cara kampanye, menggerakkan massa yang besar dan safari politik, ke arah persaingan melalui media Radio, Televisi, Surat Kabar dan Majalah yang lebih efisien untuk menyebarkan persuasi yang paling massif kepada konstituen (diambil dari Laporan LSI mengenai silent revolution partai). 

Kini Silent Revolution merambah ke dunia pendidikan. Revolusi diam-diam yang menggantikan habitual siswa, bahkan seakan mencerabut siswa dari masa bermain dan belajar mereka dari kehidupan bersosial kepada tatanan asosial melalui media sosial. Mereka ramah di chat, belum tentu bisa ramah saat bertemu muka. Etika, Akhlak dan Kebiasaan baik sekarang terancam digantikan peran kesehariannya dengan berada di depan layar monitor dan layar 7 inchi dari HP mereka untuk melihat seisi dunia ini. 

Dampak baiknya adalah banyak programmer, muncul dari kaum muda. Banyak penulis yang memanfaatkan blog untuk mengembangkan bakat menulisnya dan dibaca oleh banyak pembaca di seluruh dunia. Namun tidak sedikit pula dampak buruk tekhnologi yang membayangi masa depan generasi muda kita. 



2 komentar:

Featured Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustak...