Voice bukan Noise

 



Saya lama mematikan akun twitter saya, karena gerah dengan ucapan ucapan kebencian yang terlontar di banyak akun. Banyak yang nynyir dan saling serang. Orang-orang yang nota benenya pintar semakin berani menulis kata-kata provokatif yang cenderung kotor dan tidak layak dibaca.

Secara kebetulan saja setelah melihat status teman dari twitternya, saya klik masih bisa membuka dengan akun saya. kemudian memaksa saya untuk menulis terkait dengan noise yang ada di salah satu aplikasi medsos ini.

Masih ingat kubu cicak dan buaya? Mungkin embrio ini terus ada dan semakin ramai bahkan mengusik dari ramainya mereka berkomentar di sosial media. Inilah yang saya katakana noise. Mereka berisik dan mengganggu ketenangan.



Keberisikan atau noise ini membikin mental kita larut kedalam hal yang tidak sehat. Saling caci dan saling benci. Menciptakan gap komunikasi. Apakah budaya noise ini akan selalu di pertahankan? Siapa yang bisa membendung keberisikan sosial media?

Geram itulah yang saya rasakan saat beberapa tokoh politik beradu argument secara tidak sehat dengan saling mencemooh di akunnya. Mereka merasa sok suci dan merasa paling benar. Kita sebagai garda terdepan Pendidikan di Lembaga Pendidikan yang mengutamakan akhlak dan sopan santun step by step ke siswa, menanamkan itu tiap hari seperti menguap begitu saja dengan ulah beberapa elit yang tidak mampu menguasai diri.

Yang kita perlu adalah Pendidikan politik dengan suara (voice)  yang mendewasakan yang santun, suara yang  membikin tenteram dan damai bukan suara yang berisik (noise) yang membikin kita sumpeg dan gerah.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustak...