WRITING FOR HEALING

 



Menulis bagi kebanyakan orang bukan sebuah hal yang seksi. Tidak banyak yang melirik dan menekuni dunia ini. Kebanyakan memilih berbicara daripada menulis. Ada saja alasan mereka. Bukan passion nya, ada lagi yang mengatakan kalau menulis pasti awalannya “pada suatu hari” tidak punya ide lain selain itu. Alasan selanjutnya adalah tidak memiliki waktu.

Sebagian kecil saja yang menekuni dunia ini. Mereka pun bukan serta merta memiliki bakat alam menulis. Mereka mengalami jatuh bangun dalam menulis sehingga bisa menghasilkan karya berupa buku, cerpen, puisi ataupun tulisan quote atau yang sekarang dikenal dengan meme.

Menulis sebenarnya sebuah aktivitas kita dalam keseharian. Apalagi kalangan pelajar dan akademisi. Mereka sangat dekat dengan alat tulis menulis. Kita oleh tuhan diberikan satu mulut, dua tangan, dua mata, dua telinga. Yang menyiratkan kita harus lebih banyak melihat, mendengar dan berkarya daripada berbicara.

Namun tidak dipungkiri kita kadang mati ide untuk menulis. Merasakan otak tumpul tidak memiliki ide, apa yang mau kita tulis. Terus kapan waktu yang tepat untuk kita bisa berkarya dalam bentuk tulisan. Tentu saja jawaban setiap orang bisa berbeda. Wartawan dan akademisi akan berbeda jawabannya, apalagi kita sebagai orang biasa.

Sebagai wartawan waktu yang tepat untuk menulis ya setiap saat mau terbitnya Koran. Akademisi bisa jadi saat laporan penelitian harus dikumpulkan. Dan orang biasa bisa jadi sangat tentative waktunya. setiap muncul ide bisa menulis.

Yang muncul ide adalah ketika kita biasanya mengalami hal luar biasa yang terjadi didiri kita. Bisa jadi saat sakit hati karena putus cinta, penyakit yang datang ke tubuh kita, trauma psikis yang terjadi dan lain sebagainya.

Dari Jurnal yang pernah saya baca mengenai
“writing for healing
 dari Uji klinis menunjukkan bahwa menulis tentang pengalaman menyakitkan dapat meningkatkan respons kekebalan, mengurangi waktu pemulihan, dan meningkatkan kesejahteraan fisik, psikologis, dan social.

Disaat pandemi covid ini banyak trauma individu dan masyarakat. Banyak masyarakat yang sangat takut dan mengalami trauma. Pengalaman yang terjadi padanya bisa ketika di tulis saya yakin akan menjadi  pengkayaan pengalaman untuk orang lain. Menulis dari pengalaman akan memunculkan kekuatan tersendiri dari bentuk tulisan itu dan bisa jadi menjadi kenang-kenangan berharga untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustak...