Langsung ke konten utama

Menjumpa Rindu Sang Bumi Ruwa Jurai

 


Agenda dwitahunan kami sekeluarga adalah mudik ke kampung halaman untuk melepas rindu dengan orangtua terkasih. Meski bentangan jarak yang tidak dekat, biaya yang berat, insyaallah tidak ada apa apa nya dengan luapan rindu dan keinginan untuk meminta maaf kepada ibu dan ayahanda.

Tahun ini kami tetapkan niat untuk ke tanah kelahiran suami yang di kenal dengan sebutan Sang Bumi Ruwa Jurai. Ratusan kilometer kami tempuh dengan menaiki mobil. Tentu saja persiapan baik fisik maupun mental ditambah lagi finansial sangat butuh ditata dengan sebaik-baiknya.

Kamis Malam 5 April kami mengawali perjalanan safar ke pulau Sumatera. Suami sebagai amir safar dan saya sebagai bendahara perjalanan. Anak kami tiga kami ajak untuk ikut serta dalam setiap perjalanan mudik kami. Tugas saya adalah menyiapkan keperluan BBM, Top Up e-Toll, ASDP penyeberangan ferry dan konsumsi saat perjalanan. Sedang tugas utama suami mengemudi kendaraan. Saya Sebagian kecil membantu menggantikan mengemudi dia saat merasa ngantuk dan lelah.

Mental yang harus dijaga benar saat perjalanan karena setiap saat di tol harus selalu waspada dan tidak boleh lengah sedikitpun. Tak jarang kami temui kecelakaan mobil di tol, kerusakan mobil akibat pecah ban, atau radiator mbledug. Tak lepas mulut kami dengan doa dan shalawat sebagai sebuah bentuk pengharapan kelancaran perjalanan dan kepasrahan kita kepada Allah sang Maha segalanya.

Perjalanan tertera dalam google map memerlukan waktu tempuh sekitar 20 jam, ternyata mengalami banyak keterlambatan. Penyebab utamanya adalah macet di Pelabuhan penyeberangan Merak-Bakauheuni. Banyak pemudik yang belum tahu aturan baru, bahwa penyebarangan ferry Merak-Bakauheuni tidak lagi menyediakan tiket offline. Namun harus memiliki akses online di Ferizy atau sejenis untuk melakukan pembelian tiket. Akibatnya mereka tidak diperkenankan masuk ke perahu sedangkan tidak bisa mundur lagi karena antrian mobil dibelakang sudah mengular.

Tibalah kami di Kampung Halaman di daerah Rajabasa dini hari setelah menempuh perjalanan selama hampir 30 jam. Setelah sahur bersama keluarga dan menunggu sholat Subuh setelah itu kami istirahat melepas penat sampai matahari telah tinggi.

Keinginan bertemu untuk menjumpa rindu dengan keluarga dan handaitaulan yang jauh diseberang pulau kesampaian juga. Kegembiraan Nampak di wajah suami ku, sayapun turut gembira menyaksikan keeratan hubungan antar keluarga disini.

Kesederhanaan kehidupan di keluarga ini namun terasa sekali religiusitas dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, lantunan ayat al-Qur’an acapkali terdengar dilantunakan dengan merdu oleh adik bungsu kami. Kekompakan dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu di masjid untuk kaum laki-laki benar benar menjadi pemandangan indah di mata saya.

Saat dikumadangkan Adzan seluruh pekerjaan mereka tinggal dan memenuhi panggilan sholat di Masjid. Bahkan subuhpun Jamaah dimasjid penuh. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun sangat banyak yang sholat subuh di masjid. Ini menjadi pelajaran penting buat anak-anakku dan saya sangat berharap praktek baik ini dia bawa sampai pulang ke tanah Jawa.

Kami bertemu ibu dan bapak yang telah beranjak menua dan melemah tubuh mereka. Ibu sudah empat bulan tidak bisa berjalan karena kakinya lemas. Bapak yang telaten merawat ibu ditemani adik bungsu kami dan salah satu anak perempuan yang tinggal di sebelah rumah. Tubuh renta ini yang telah mengantarkan anak-anak nya dengan membanting tulang tak kenal panas dan hujan. Pekerjaan apapun selama halal di lakoni, menyadap karet menanam bengkoang, menanam papaya di kebun untuk di jual dilakukan demi memenuhi hajat anak-anak mereka untuk makan dan bersekolah.

Maka tidaklah pantas mengukur jauh perjalanan ini untuk bersua dengan mereka. Kami datang untuk bersimpuh didepan mereka seraya bermohon ridho atas semua jerih payah mereka membesarkan dan menghidupi anak-anaknya. Kebahagiaan mereka hanya sederhana juga bisa berkumpul dan melihat anak anaknya bisa melewati ujian kehidupan yang pasti satu dan lain tidak sama.***

Komentar

Popular Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustaka Begawan literasi di UIN SATU Tulungagung menghadiahkan buku ini pada resensator dengan catatan tulis tangan yang indah berisi tulisan adalah produk intelektual yang perlu di rawat dengan sepenuh jiwa. Sebuah kalimat yang mendalam untuk yang mampu menumbuhkan motivasi yang mendalam untuk menekuni dunia sepi membuahkan tulisan.   Penulis buku moderasi beragama yang di tulis secara duet oleh master di bidang metodologi Islam dan kelimuan tafsir hadis dan ilmu Al Qur’an, para professor ini menyoroti keberadaan Islam, pesantren dan karakter muslim dengan moderasi beragama. Isi Buku Terdiri dari 5 bab yang dimulai dengan pesantren dan dialetika sosial budaya, moderasi beragama sebuah tinjauan umum, pesantren dan perguruan tinggi serta moderasi beragama kebijakan, strategi dan implementasi. Pemembahasan mulai aspek berbeda dari pendidika...

Menggapai Ampunan Berbuah Surga

Bersegeralah mencapai ampunan Allah. Dan imbalannya adalah Surganya Allah yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga ini diperuntukkan kepada orang orang yang bertakwa. Makna Langit disini dimaknai semua hal di luar bumi yakni alam semesta adalah langitnya Allah. bukan hanya seluas satu bintang yakni matahari dan 8 planetnya, bukan pula hanya satu galaksi yang berisi sekian milyar bintang. namun sekian milyar galaksi.  Surga seluas langit dan bumi ini diperuntukkan kepada siapa saja yang bisa bersegera mencari ampunan Allah, mereka adalah orang orang yang bertakwa. Siapa orang yang bertakwa dijelaskan di lanjutan ayat dari Surat Ali Imron ayat 134 yakni:  Pertama orang yang menafkahkan hartanya disaat lapang dan sempit . Menafkahkan harta untuk kebaikan dikala mereka kelebihan harta maupun saat kekurangan. Kebiasaan kita adalah tidak mau berbagi disaat kita merasa kekurangan.  Orang yang bisa Menafkahkan hartanya pasti akan banyak kawan. Sebaliknya orang yang kikir dan ...

Push the limit

The world changes when you change your perspective. (Yogadailypractice) Push the limit artinya pada paksa dirimu untuk melampaui batasmu. Biasanya istilah ini digunakan untuk olahraga. Mendorong dengan setengah memaksa untuk melampaui batas sehingga menjadi lebih dari yang kita mau.  Push the limit dalam yoga, juga di maknai untuk memaksa otot tubuh lebih renggang lebih lentur. Guru yoga virtual saya dari Australia mengatakan jangan dalam pose-pose yoga kalau sudah bisa harus di tingkatkan levelnya. Ada beberapa pose o diajarkan seperti vp pose, eagle, bridge, warior1,2,3 sun warior, cat pose, cow pose, head   stand dan lain lain.  Beberapa pose ini meningkatkan efektivitas kerja otot dan membuat postur tubuh menjadi lebih bagus. Tidak bungkuk dan tidak ndegeg (archy). Kesemua itu endingnya adalah kebugaran tubuh.  Saya memaknai push the limit ini juga dalam menulis. Ajakan dari Doktor Naim untuk ajeg menulis setiap hari lima paragraf, menurut saya mengajak ki...

Aisyah (The Greatest Woman in Islam)

Resensi buku Nama Buku     : Aisyah ra. (The Greatest Woman in Islam) Pengarang        : Sulaiman An-Nadawi, Penerbit            : Qisti Press, 2007 Halaman            : 341 Halaman + xlii Lagu viral saat ini yang berjudul Aisyah, menghentak dunia maya. Sebelum Ramadhan sampai kini. Sosok seperti Apakah Sayyidah Aisyah?? Lepas dari lagu yang tersebut, sebenarnya saya pada dihadiahi sebuah buku oleh suami setelah pernikahan saya di 2007. Judulnya Aisyah r.a yang akan saya resensi kali ini. Dia di juluki humaira’, dia adalah istri Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau di kenal sebagai Ummul Mukminin. Biografinya di tulis lengkap dalam buku ini, bagaimana sisi sang Sayyidah Aisyah dalam intelektualitas, romantisme dan heroismenya. Buku ini bercerita dari masa kecil Aisyah, sampai pada kecerdasannya mengumpulkan hadits-hadits...