Pernik mudik



Pulang kampung yang sering diistilahkan dengan mudik. Pada lebaran kali ini, dimana saya dan keluarga menjadi salah satu pesertanya. Menuju kampung kelahiran suami hampir 1000 km dari sini. Ada saja ternyata kisah dikala mudik lebaran. Baik yang haru maupun yang lucu.

Perjalanan ini saya dan anggota keluarga yang berjumlah lima orang, kami memakai mobil wuling milik adik karena kapasitas mobil kami lebih kecil. Saya bersama suami, anak sulung kami yang menginjak kelas 1 menengah atas, putri kedua kami yang dan si bungsu yang masih kelas 1 Sekolah dasar.

Kami berlima berangkat ba’da shalat tarawih. Menyengaja malam kami berangkat dengan harapan sampai tol semarang atau pintu tol Banyumanik kami tidak dikeluarkan dari tol. Berdasar pengalaman dua tahun yang lalu pemudik yang dari barat ke timur sangat banyak, menguasai seluruh jalan tol ruas kiri maupun kanan. Sehingga pemudik yang menuju keaarah barat diturunkan dari tol.

Berdasar informasi juga pintu tol dibuat searah ke timur pukul 14:00 WIB. Maka sebelum itu kami harus sudah lepas dari Semarang.

Alhasil kami sebelum jam 03:00 dini hari sudah sampe Semarang dan melewati Tol Banyumanik dan berhenti di Rest Area. Kami berhenti untuk membuka bekal untuk makan sahur. Meski saat safar kita diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan mengganti dihari yang lain. Saya dan anak-anak tetap berpuasa. Kami menggelar tikar di pelataran rest area untuk makan dan meluruskan badan dengan berbaring sejenak.

Pengalaman saat pramuka dahulu, setelah pulang berkemah, saat tubuh capek capeknya pesan Pembina kami jangan tidur diatas Kasur. Usahakan tidur diatas lantai, bisa digelari tikar dan berbaring posisi keatas, cukup tidur selama 2 jam akan mujarab untuk menghilangkan kepenatan.  Dan benar saja, berbaring sempurna meski tidak lama cukup untuk mengembalikan stamina kami.

--- kehabisan saldo e-toll.

Setelah sholat subuh, kami melanjutkan perjalanan dengan para pemudik yang lain. Saya menjadi driver pengganti sementara driver utama yakni sang suami meneruskan istirahat di kursi penumpang. Setelah 3 jam berkendara kami sampai ke pintu keluar tol Cipali.


Saya yang tidak memperhatikan saldo e-toll kami karena sedang konsentrasi menyetir. Saat saya tempelkan kartu e-toll terpampang tulisan saldo anda tidak cukup. Paniklah saya, saya teriak memanggil penjaga tol. “Mas ini gimana saldo saya kurang” petugasnya memberi saran ” pinjam kartu mobil belakangnya bu” sedangkan suami yang terbangun mengatakan “mundur-mundur aja…”..

Gimana mau mundur, dibelakang sudah antri puluhan mobil untuk keluar pintu tol. Untunglah HP saya ada saldo OVO dan ada tambahan perangkan NFC. Dengan agak panik saya isi saldo e-toll melalui perangkat HP. Alhamdulillah.. bisa masuk dan bisa digunakan. Kepanikan saya lebih disebabkan klakson mobil di belakang kami. Anak-anak tidak kalah paniknya namun menghibur saya dengan mengatakan “jangan gugup mi, kalau mereka gak sabar biar terbang saja” hehehe…

Akhirnya kami bisa keluar tol cipali dengan lega. Dan akhirnya saya lebih familiar dengan fungsi perangkat NFC di HP sebagai alat gesek uang elektronik. Dan mobil kami melenggang menuju gerbang tol Cikampek. Sempat saya melirik di ruas kanan sudah beratus-ratus mobil bergerak perlahan ke timur.

--- tersesat di Jakarta


Pukul 10:00 kami sudah masuk ke Kota Jakarta, biasanya kami memilih tol layang, bukan tol dalam kota, karena lebih cepat untuk bisa keluar dari Jakarta. Saat  mudik inipun kami juga menggunakan Tol MBZ untuk menuju ke Pelabuhan Bakauheuni.

Saat itu saya masih yang menjadi supir kendaraan kami. Berjejal-jejal dengan pengendara mobil yang lain dijalanan kota Jakarta adalah hal yang mendebarkan sekaligus pengalaman baru buat saya. Senjata utama kami adalah memakai layanan peta dari Google Map untuk menyusur di sepanjang perjalanan mudik ini.

Namun ternyata sesaat saja kami salah jalur, akibatnya pahit. Harus berputar didalam kota Jakarta selama hampir 2 jam. Membuat adrenalin berpacu kencang dan kram perut dan mulut pahit. Karena campuran lapar, panik dan takut salah arah lagi.

Padahal pintu tol keluar kurang 100 meter lagi, arahan dari navigator sebelah saya tidak lain dan tidak bukan adalah suami. Lurus saja.. ternyata kami harus memutar hampir 10 km untuk bisa keluar. Sedangkan jalanan didalam kota ada jalur busway yang berulang kali kami terabas karena ketidaktahuan kami.

Lepas siang hari akhirnya kami menemukan rest area untuk beristirahat lagi. Saya keluar dari Mobil dengan lutut gemetar karena perjalanan panjang dan pengalaman macet di kota Jakarta yang luar biasa.

--- Pulang mudik sambil piknik


Dari pengalaman sejak 2007 mudik sampai sekarang, mulai naik bus, pesawat, mobil pribadi, yang kami rasakan adalah berangkat diperjalanan sampai tujuan kemudian pulang. Kali ini ada yang berbeda, mengide dari sebuah film anak “

Mereka melakukan perjalanan panjang dari Jakarta ke banyuwangi dengan menyusuri berbagai tempat tempat indah disepanjang yang mereka lewati.

Akhirnya kami berlima memutuskan untuk mengikuti jejak mereka. Kita pulang mudik dan melipir ke tempat tempat yang kita ingin kunjungi.

Tempat pertama adalah di Masjid Istiqlal. Saya sudah beberapa kali masuk masjid ini, namun anak-anak belum pernah berkunjung ke sini, sekalian kami sholat isya di masjid ini. Terlihat sekali anak-anak menikmati pengalaman masuk masjid kebanggan Umat Islam di Indonesia. Di pelataran masjid kita bisa melihat puncak  monas yang menyala saat malam. Menambah betah mereka untuk mengabadikan moment ini.

Tempat kedua adalah makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Kami keluar tol menuju makam Sunan Gunungjati dengan jarak tempuh 45 menit, lumayan cepat karena keadaan tengah malam dan tidak banyak kendaraan yang berlalu Lalang.


Bukan karena sebab kami menuju ke makam Raden Syarif  Hidayatullah ini, putra bungsu kami selalu menyanyikan lagu walisongo di saat pujian di masjid dan disepanjang perjalanan kami.

Selain itu makam sunan di Cirebon inilah yang paling tidak tersentuh oleh kami saat ziarah wali. Kebanyakan kami melaksanakan ziarah hanya di wali Jatim. Jateng dan jabar sangat jarang tersentuh. Dan kebetulah kesempatan pulang ini kami manfaatkan untuk menziarahi wali yang terkenal sebagai wali ke 9 dari walisongo.

Anakku yang bungsu sangat antusias dalam perjalanan menuju makam sunan gunungjati ini, sepanjang perjalanan dia bernyanyi “ Sunan Gresik kondang ngelmu dagange, Sunan Ampel falsafah mo limone, Sunan Giri tembang dolanane, Sunan Bonang musisi gamelane.

Sunan Drajat pepali pitune, Sunan Kalijogo wayangane, Sunan Muria ngemu tradisine, Sunan Kudus gede toleransine, Sunan Gunung Jati politike…. “

Sesekali menanyakan apa lho arti toleransi, arti mo limo, arti politik dan lain sebagainya. Beberapa pertanyaannya saya jawab beberapa lagi dijawab oleh suami saya.

Sesampai disana. Kami diarahkan oleh tukang parkir untuk masuk gang. Ditengah kebingungan kami kami mengikuti intuisi aja, semoga tidak kesasar. Dan alhamdulillah kami sampai ke masjid "Dog Jumeneng" sunan Gunung Jati. Masjid ini berundak-undak. Sehingga shof dimasjid tidak rata namun seperti bukit berundak setiap shofnya.

Kami mengambil air wudhu dan menuju makam dulu sebelum akhirnya beristirahat lagi di masjid. Para jamaah diperbolehkan tidur didalam masjid.

Dimakam yang semula sepi yang beberapa orang, kami mengambil tempat tidak terlalu depan. Setelah duduk dan belum kami buka tahlil, rombongan peziarah lainnya yang jumlahnyan puluhan, bahkan sampai ratusan memenuhi area makam. Kami yang hanya berlima ikut saja alunan tahlil dengan mereka, karena kalau dipaksakan mengimami sendiri suara kita tenggelam dengan kerasnya suara jamaah mereka.

--- makan Mahal

Singkat cerita kami melanjutkan perjalanan, suami menawarkan bagaimana kalau kita lewat wonogiri, secara peta nanti langsung menuju ponorogo, dari ponorogo ke Trenggalek dan ke timur sedikit sudah sampe rumah. Senyampang lewat wonogiri kami singgah dulu di waduk gajah mungkur.

Jalanan yang padat memaksa kami menepi kesebuah warung yang cukup ramai. Disitulah kami terkena prank nasi mahal, karena ramai ada dua kemungkinan, enak atau murah. Tanpa bertanya kami memesan makanan menu nila bakar 2 porsi, nasi dan es degan. Menurut saya ikan yang dibakar ini tidaklah besar 1 porsi isinya dua. Dan Ketika saya cicipi juga tidak ada yang luar biasa, seperti nila bakar di warung biasanya, nah dugaan saya ramai karena murah sudah pasti ini.

Setelah selesai makan saya sempatkan untuk mengabadikan panorama waduk di samping warung, disitu ada pasangan muda berbisik, tidak sesuai dengan ekspektasi. Waduh.. sepertinya tidak sesuai dengan dugaan saya.

Benarlah saat membayar 5 orang harus membayar 350.000,- artinya perorang kena 70.000,- pusing pala berbie,….. makanan mahal ini kita harus bayar dengan terpaksa. Akibat tidak ada harga yang tertera dan kami tidak menanyakan dulu berapa harga nya.

Kami keluar warung sambil tersenyum kecut, mungkin saja mereka tahu kalau kami tidak menjadi pelanggan dan tidak akan kesana dalam waktu dekat akhirnya dimahalkan harganya. Anakku yang sulung bergumam, “mau tak keluarkan eman dengan nasi mahal tadi” kami semua tertawa di mobil. Sungguh pengalaman yang tidak perlu diulang lagi.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustak...