Langsung ke konten utama

Pahlawan Emansipasi dan Literasi



Memperingati hari kartini yang jatuh pada setiap tanggal 21 April, banyak khalayak yang memperingatinya dengan berbagai macam event. Ada yang lomba memakai kebaya, menggambar Kartini, mewarnai gambar Kartini, yang hampir semua menggambarkan sosok kartini sebagai perempuan jawa yang bersanggul dan memakai kebaya.

Apakah memang karena kartini ini orang jawa sehingga diidentikkan dengan pakaian jawa dan sanggul. Dan saya tidak banyak menyoroti disana. Hal yang perlu sekali kita maknai dari peringatan hari Kartini adalah bahwa Kartini adalah seorang pahlawan Nasional di bidang Emansipasi Perempuan.

Dilahirkan di lingkup  darah biru, nama Raden Ajeng Kartini, putri wedana yang kemudian menjadi bupati di Jepara hidup dalam kungkungan tembok tinggi keningratan. Dimana perempuan tidak bisa menikmati hak kebebasan seperti halnya kebebasan lelaki. Salah satu contoh kekangan yang didapat oleh Kartini, dia hanya boleh bersekolah sampai usia 12 tahun. Meski gurunya menyarankan untuk meneruskan studi ke Belanda, sang ayah melarangnya.

Dalam usia ke 24 Kartini di peristi oleh Bupati Rembang RM Djojohadiningrat, dalam bayangan kartini, hidup sebagai istri lebih mudah untuk mendirikan sekolah untuk perempuan. Namun takdir Kartini hanya sampai pada usia 25 tahun dan meningggal dunia tahun 1904.

Di tahun 1938 muncullah buku bertajuk Habis gelap terbitlah terang Karya Armijn Pane, yang mengulas surat-surat yang di tulis RA Kartini kepada koleganya di Belanda. Surat ini dinilai oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai Pemikiran modern pertama yang muncul dari pribumi asli.

Dari RA Kartini kita tahu kegelisahan dan kesengsaraan perempuan jawa zaman itu yang tidak memiliki hak dalam memperoleh Pendidikan yang sama dengan laki-laki, kita akhirnya tahu beliau juga memperjuangkan untuk tidak menikah di usia belia. Zaman dahulu usia 12 tahun perempuan Jawa telah dinikahkan oleh orang tuanya, dan RA Kartini bertahan sampai usia 24 tahun.

Tidak ada malam yang abadi, malam akan berganti siang dengan sinarnya yang terang. Kartini merupakan suluh perjuangan perempuan. Beliau meninggal di usia muda, namun peninggalan atas surat - suratnya terpatri abadi di benak bangsa Indonesia.

Akhirnya disini saya tersadar pentingnya goresan tulisan gagasan yang ditulis Kartini adalah sebuah mahakarya literasi yang tak lekang oleh zaman. Dalam usia 12- 24 tahun dia aktif berkorespondensi, 12 tahun itu menjadi abadi karena tulisannya sampai sekarang bisa dibaca oleh kita.

Pada tulisan surat terakhirnya kepada sahabatnya, Kartini menyuarakan jalan terbuka untuk kemenangan perempuan Indonesia dengan kutipan “Walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah turut merintis jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra.” 

Terimakasih ibu Kartini, Jasamu untuk perempuan Indonesia kami kenang selalu.

 

Komentar

Posting Komentar

Popular Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustaka Begawan literasi di UIN SATU Tulungagung menghadiahkan buku ini pada resensator dengan catatan tulis tangan yang indah berisi tulisan adalah produk intelektual yang perlu di rawat dengan sepenuh jiwa. Sebuah kalimat yang mendalam untuk yang mampu menumbuhkan motivasi yang mendalam untuk menekuni dunia sepi membuahkan tulisan.   Penulis buku moderasi beragama yang di tulis secara duet oleh master di bidang metodologi Islam dan kelimuan tafsir hadis dan ilmu Al Qur’an, para professor ini menyoroti keberadaan Islam, pesantren dan karakter muslim dengan moderasi beragama. Isi Buku Terdiri dari 5 bab yang dimulai dengan pesantren dan dialetika sosial budaya, moderasi beragama sebuah tinjauan umum, pesantren dan perguruan tinggi serta moderasi beragama kebijakan, strategi dan implementasi. Pemembahasan mulai aspek berbeda dari pendidika...

Menggapai Ampunan Berbuah Surga

Bersegeralah mencapai ampunan Allah. Dan imbalannya adalah Surganya Allah yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga ini diperuntukkan kepada orang orang yang bertakwa. Makna Langit disini dimaknai semua hal di luar bumi yakni alam semesta adalah langitnya Allah. bukan hanya seluas satu bintang yakni matahari dan 8 planetnya, bukan pula hanya satu galaksi yang berisi sekian milyar bintang. namun sekian milyar galaksi.  Surga seluas langit dan bumi ini diperuntukkan kepada siapa saja yang bisa bersegera mencari ampunan Allah, mereka adalah orang orang yang bertakwa. Siapa orang yang bertakwa dijelaskan di lanjutan ayat dari Surat Ali Imron ayat 134 yakni:  Pertama orang yang menafkahkan hartanya disaat lapang dan sempit . Menafkahkan harta untuk kebaikan dikala mereka kelebihan harta maupun saat kekurangan. Kebiasaan kita adalah tidak mau berbagi disaat kita merasa kekurangan.  Orang yang bisa Menafkahkan hartanya pasti akan banyak kawan. Sebaliknya orang yang kikir dan ...

Hujan di Bulan Juli

Hega menghela nafasnya dengan berat.. “Huuftt mendung, Apakah akan hujan di hari yang dingin ini?” ucapnya dalam hati. Benar karena ini bulan Juli bulan dimana negeri tropis seperti Indonesia ini sedang musim dingin. Udara dingin memang kadang tidak bersahabat. Tapi Hega sangat suka dengan musim dingin dari pada musim hujan. Bukannya benci dengan hujan. Ada beberapa serpihan kenangan duka terselip di kehidupan Hega saat kuliah dulu. “Ga…., “ teriak seseorang Hega menoleh, ternyata sahabatnya yang memanggilnya di depan perpustakaan. Wajah manis dalam senyuman dan mata lugunya membuat Hega menyambutnya dengan senyuman juga. “Ada Apa, Is?” tanyanya. “Besok kamu bisa ikut acara MUSDEGA? Kamu kan kerani. Wajib Ikut lho… “ Tanya si Aisyah. Bukan hanya tanya tapi dia lebih kepada memastikan kehadiran Hega untuk musyawarah Pandega yang akan diadakan hari Sabtu sampai Minggu esok hari. “Belum pasti” jawab Hega lesu dengan menekuk mukanya. “Ayolah semangat.. kamu past...

Kupatan

Pagi selepas jamaah subuh pada hari raya ke-8 Idul Fitri ini saya bergegas menuju dapur untuk mempersiapkan ketupat dan launya untuk dibawa ke masjid. Setiap hari bulan Syawal tanggal 8, pagi sebelum matahari terbit, tradisi di desa kami selalu mengadakan kendurian ketupat di masjid dengan seluruh masyarakat di sekitar Sewaktu kecil saya ketika bapak masih ada selalu di bangunkan dan diajak untuk kenduri di masjid. Meski dingin pagi saya semangat untuk mandi dan bersiap. Bahagianya   ketika menerima bagian ketupat dan melahapnya dengan lauk sayur blendrang dan sedikit taburan kedelai gorang yang dihaluskan, sangat enak. Sekarang gantian anak-anak yang merasakan kebahagiaan itu, mereka bersemangat untuk mempersiapkan diri ke masjid dengan mandi dan berpakaian, kemudian mengikuti ayahnya untuk bersiap ke masjid. Si kecil yang pulas dalam tidurnya terbangun mendengar kesibukan kakak-kakanya, dan berteriak “ikut”. Kupatan yang masih sangat berkesan bagi saya adal...