Mengide kebesaran Literasi di Ma’arif

 

Mengide kebesaran Literasi di Ma’arif

Budaya Literasi Jati Diri Warga Nahdliyin

 

Kopi darat (Kopdar) sebenarnya bukan pertama kali diadakan. Saya masih ingat kami pernah bertemu di sebuah tempat nongkrongnya anak muda di Tulungagung. Saat itu merayakan kehadiran buku “Pendidikan di Era Digital.”

Kali ini Ma’arif secara kelembagaan menghadirkan Prof Ngainun Naim Pembina grup Ma’arif Menulis secara ofline, di Kantor cabang Ma’arif Tulungagung. Hadir diantaranya Abah Nursalim, Bu Nurhamidah, Bu Filza, Bu Ana, Bu Siti Kustiani dan beberapa penggiat literasi di Ma’arif.

Lumayan lama menunggu kehadiran peserta satu persatu. Setelah hampir 1,5 jam berlalu dari jam yang di rencanakan. Bapak Dr. Supriyadi, M.Pd.I memberikan sambutan sekaligus memotivasi peserta. Beliau  mengatakan literasi sangat penting untuk membangun peradaban.

Warisan berupa tulisan kita menjadi pembangunan peradaban warga nahdliyin. Kedepan maarif diharapkan mampu membentuk kader literasi, mengadakan roadshow membangun budaya literasi siswa di Ma’arif.

Bukanlah hal yang mudah untuk istiqomah dalam menulis. Namun budaya ini harus tetap kita pertahankan untuk mencitrakan lembaga pendidikan yang sangat dengan dengan keilmuan dan dekat dengan dunia tulis menulis.

Di Ma’arif sendiri memiliki Legacy berupa pembelajaran LPPTQ  Annahdliyah yang sudah go internasional. Buktinya Annahdliyah ini diterapkan di Ma’had UIN SATU Tulungagung.

Sesaat Pak ketua Ma’arif H. Khozin, M.Pd.I menyambut dalam acara ini. Beliau terkesan pada ulama zaman dulu yang memiliki kitab yang banyak dan bermafaat.  Contohnya Syech nawawi beliau menghasilkan kitab sebanyak hari selama hidup. Semangat menulis syech Nawawi ini yang perlu diwarisi oleh kita semua. 

 

Recharge dari Prof. Ngainun Naim, M.HI

Sosok Prof Naim memang sangat berkharisma. Bertemu beliau saja sudah mendadak literat. Semangat menulis tumbuh dari sentilan sentilan beliau. Masa anak kecil kelas 2 SD saja bisa nulis dan menghasilkan karya buku, guru bahkan kepala sekolah gak bisa. Kata kata itu yang disampaikan di workshop penguatan kepala madrasah di lingkup Maarif sebelum pandemi.

Sampai akhirnya beberapa kepala madrasah aktif memulai menulis dengan asuhan beliau. Mulai dari membuat tulisan di blog. Mengisinya setiap hari minimal 5 paragraph. Memberikan tips tips menulis, memotivasi saat kami merasa jengah.

Menulis itu perlu selebrasi namun tidak selalu orang bisa memberi apresiasi kepada tulisan kita. Maka yang paling penting menjadi penulis memaksa diri dari dalam.

 

Apabila kita lembek tidak memaksa diri sendiri, maka tunggulah kita terjebak dalam kebuntuan untuk menulis. “Allahumma mekso awak dalam kebaikan” adalah doa untuk memaksa kita tidak lembek mengerjakan kebaikan dalam hidup kita.

Menulis bukanlah hal yang susah, namun bukan hal yang mudah pula apabila kita tidak merawat ketrampilan ini. Menjalani kegiatan menulis dengan setapak demi setapak, akan mengasah kemampuan kita dibidang itu.

Kita sering melihat orang sukses berkarya, menghasilkan novel yang best seller, tulisan yang di baca ribuan orang. Melihat proses kesuksesan itu dan ingin mengikutinya secara instant. Dibalik kesuksesan seseorang pasti ada peristiwa behind the scene yang beragam.

Juga yang terkadang dilupakan adalah komitmen diri untuk membulatkan tekad apa mewujudkan keinginan kita. Hidup adalah kondisi yang harus dijalani bukan pilihan dan hanya komitmen yang bisa mewujudkan tulisan.

Menurut Prof Naim, Tulisan itu ajaib.. semakin banyak tulisan semakin banyak keajaiban yang interconnected. Orang sering berfikir praksis. Hitam putih. Menulis nanti dapat apa? Materi berupa uang yang dari hasil pembelian buku? Bukan itu, itu adalah cara berfikir yang salah.

Menurut beliau kita bisa menebar Amal sholeh melalui menulis. Keuntungan menulis kemanapun ada teman. Dan tentu saja membahagiakan hati.

Menulis itu adalah meninggalkan warisan, sekali pun jangan membandingkan kegiatan menulis dengan mutu. Itu adalah hal yang berbeda. Menulis adalah bentuk aktualisasi rasa syukur kita.

Terkait tulisan kita bermutu atau tidak nyiyiran orang pasti ada, jangan terlalu berfikir orang mau berbicara apa, yang paling penting berkaryalah dengan menulis. ***

4 komentar:

Featured Post

RESENSI (Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama)

  Pesantren, Kampus Islam dan Moderasi beragama Karya Ngainun Naim, Abad Badruzzaman Halaman 288 + vi diterbitkan oleh Akademia Pustak...