Saat membaca Grup Whatsapp dari sahabat pena, saya terpekik
spontan mengucapkan “Alhamdulillah”. Pengumuman yang berisikan nama nama
professor dan nama perguruan Tinggi tempat beliau berpangkalan data. Professor
Ngainun Naim, MHI tertulis di nomor 2 dari 15 Professor yang mendapat SK guru
besar dari Menteri Agama.
Masih ingat saat saya mengikuti beberapa zoom bersama pak
Ngainun, tentu saja terkait seputar mengasah kemampuan menulis, Beliau sering bercerita dengan renyah, tidak
pernah menanyakan sekalipun tentang pengajuannya menjadi guru besar kepada tim
kepegawaian yang ada di kampus. Padahal saya tahu banyak orang yang menanyakan
hal ini kepada bu Binti Mu’alamah dan teman teman di kepegawaian terkait dengan
kenaikan pangkat sebagai guru besar. Ini awal kekaguman saya kepada beliau
selain setumpuk kekaguman saya kepada beliau yang lain. Tentang kekuatan
nasehat sang ayahanda kepada beliau, ketabahan dan kesabaran ibunda, pun
tentang segudang cerita terkait perjalanan hidup beliau.
Prof Naim pantas di sebut sang inspirator. Saya mengenal
dekat dengan beliau saat saya dan dan teman teman yang tergabung di salah satu
grup menulis yang didampingi beliau belajar menulis. Jujur tidak ada yang tidak
terinspirasi dari jejak beliau dan keistiqomahan beliau menulis. Kami yang
semula hanya mengangan bisa menulis tanpa tahu bagaimana cara dan kemana,
dengan prof naim inilah kita bisa
berdiskusi mengenai tulis menulis.
Saat bimbingan teknis kepala madrasah tahun 2020 kami
mendapat materi literasi di hari ketiga. Di hari pertama sebenarnya saya berada
di kelas sebelahnya, tapi saya meminta panitia untuk pindah kelas karena melihat
roundown dan pemateri di kelas A ada materi Literasi di isi oleh Bapak Ngainun
Naim. Meski saya masih belum begitu kenal beliau, namun beberapa kali kami
pernah bertemu dan buku beliau sudah tidak asing lagi buat saya, seperti menipu
setan, menjadi guru inspiratif dan lain-lain.
Takdir yang mempertemukan dengan pakar literasi Bapak
Ngainun Naim ini. Kami kepala madrasah yang berada di bimtek waktu itu bertekad
untuk membuat antologi buku yang berisi pengalaman saat diklat. Receh tapi
asyik. Penulis pemula seperti kami perlu wahana dan sebuah apresiasi. Siapa yang
menjadi inspirator? Tidak lain dan tidak bukan adalah bapak Dr. Ngainun Naim. Kepala
Madrasah yang menginginkan menulis diberi
tengat waktu untuk mengumpulkan tulisan. Alhasil buku “kepala madrasah menulis”
terbit. Disusul buku kedua “tantangan pendidikan era digital” buku ketiga
mengenai “Ramadhan masa kecil” juga dengan tema yang kecil tapi luar biasa “the power of blendrang”.
Saat pandemi melanda Nusantara, hari hari bisa dilalui
dengan begitu bermakna, tantangan beliau kepada kami untuk menulis satu hari lima
paragraph dan di unggah di blog masing-masing. Kami begitu bersemangat menulis berkat
bimbingan dari Dr. Ngainun Naim. Beliau tidak sekedar menyemangati kami untuk
menulis, tapi beliau juga mencontohkan dengan konsistensi beliau menulis
artikel.
Tantangan selanjutnya adalah membuat buku solo. Kebingungan
datang, apa yang mau kita tulis? Beliau menjelaskan tidak usah bingung, dari
artikel yang dikumpulkan itulah bisa dipilah dan pilihlah satu tema yang dirasa
menarik untuk dibuat buku. Anggota grup akhirnya berlomba mengumpulkan tulisan
dan terbit beberapa buku solo dari kami, saya sendiri dengan buku “new normal new hope”, sekalipun judulnya bahasa inggris tapi
dalamnya bahasa Indonesia, beliau menunjukkan buku saya kepada salah satu forum
guru menulis dari pergunu yang disambut gelak tawa dari peserta. Tapi dibalik
itu jujur rasa bangga menyeruak ketika buku saya di apresisasi dan menjadi
contoh untuk menggerakkan guru-guru untuk berdekatan dengan dunia tulis
menulis. rekan rekan seperti pak Suprianto,
pak Nurhadi dan pak Ansori juga
menerbitkan buku solo mereka.
Saat mau ujian terbuka promosi doktor. Saya sengaja memohon
kepada sekprodi S3 untuk bisa memasukkan beliau menjadi salah satu penguji saya saat ujian terbuka. Saya bangga dan
terharu ketika permohonan itu disetujui. Mentor literasi kami yang humble, penuh dengan kesahajaan yang mampu menggerakkan guru-guru
seperti kami untuk bisa belajar dunia literasi menjadi penguji saya di ujian
terbuka.
Beliau sekarang menjadi Guru Besar UIN Sayyid Ali
Rahmatullah. Kami benar-benar merasa mendapat bimbingan yang tepat untuk meng-upgrade
potensi diri. Beliau adalah sang inspirator.
Semoga kami bisa mengikuti jejak beliau mengistiqomahkan diri dalam dunia
literasi. Banyak orang pintar tapi untuk mereka sendiri, mereka tidak mau
membagi kepintarannya dengan orang lain. Tapi lain dengan pak Ngainun Naim,
beliau tidak pelit dengan ilmu dan memberdayakan banyak orang dengan menulis. Kalau
anda seorang penulis tapi tidak kenal bapak Professor Dr. Ngainun Naim, MHI
maka anda masih belum luas dalam mengenal dunia tulis menulis.
· * Eti Rohmawati, lahir di
Tulungagung pada 17 April 1981, menamatkan pendidikan pada jurusan Manajemen
Pendidikan Islam Pascasarjana S-3 UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Bekerja sebagai kepala MTs Arrosidiyah Sumberagung Rejotangan Tulungagung.
Alhamdullillah... jadi juga Bu. Kerenn...
BalasHapusTahniah buat prof Naim.. Tidak ada yang tidak bangga menjadi murid beliau.
Hapus