(Susahnya) Membangun Budaya Menulis




Budaya merupakan semua perilaku yang dikerjakan secara terus menerus dari dulu sampai sekarang menjadi sebuah kebiasaan. Kata budaya sendiri merupakan suatu bahasa yang berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yang arti budi atau akal. Budaya atau kultur serapan dari kata (culture) terkait dengan budi pekerti manusia yang menjadi pola dan cara hidup yang berkembang dari sekelompok orang yang menurun ke generasi berikutnya.

Dengan kebiasaan saya sekarang, akhirnya saya bisa membayangkan bagaimana cara hidup sekarang dipengaruhi oleh pola hidup generasi sebelum kita. Dan saya harus berterimakasih dengan generasi pendahulu yang telah menjalani pola hidup luar biasa sehingga bisa kami hidup dalam kebiasaan santun, teposeliro, saling menghargai. Saya yakin ini adalah hal yang dilaksanakan oleh pendahulu kita yang diwariskan kepada generasi sekarang. 

E.B Taylor seorang antropolog Inggris menyebut budaya sebagai sesuatu kompleks yang mencakup pengetahuan kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Membangun budaya tidak mudah, perlu waktu yang lama dan terus menerus. Budaya berbicara baik, budaya membaca, budaya menulis yang dikenal dengan budaya literasi pun tidak dibangun seperti membangun candi dalam semalam selesai. Butuh waktu yang lumayan lama dalam menanamkan nilai nilai yang diinginkan, butuh ketelatenan juga didalamnya dan butuh tekad kuat untuk mewujudkannya.

Di kondisi yang sekarang, Indonesia dikenal dengan budaya literasi yang masih rendah. Diakui apa tidak memang sangat susah membangun budaya tersebut. Terkikis oleh pragmatisme, arus digitalisasi, seakan akan budaya menulis itu ketinggalan zaman. Lebih mudah berbicara daripada menulis. Kita tidak terbiasa menulis sehingga hanya sebagian kecil saja orang yang mampu menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan. Selebihnya mereka belum mampu, kalau pun mampu belum tentu mau menulis. 

Tak heran jika Indonesia mendapatkan rangking 70 an dari ketiga tes PISA yang diselenggarakan tahun 2018 dari 77 negara yang berpartisipas. (sumber: liputan6.com). Singapura dan China peringkat atas dari keseluruhan tes yang diadakan yakni tes membaca, menulis dan sains.

Mengurai persoalan ini butuh budaya baru untuk mendongkrak kemauan dan kemampuan kita, warga Negara Indonesia salah satunya dengan membangun budaya menulis. Menulis adalah tingkatan tertinggi dari empat ketrampilan berbahasa, dalam menulis unsur membaca, berbicara, mendengarkan hingga mewujud kepada bahasa tulis yang bisa dilihat, dibaca orang perlu melewati ketiga hal tadi.

Menulis juga memerlukan tahapan yang disebut dengan trilogy menulis. Sebelum menulis, menulis itu sendiri dan proses edit tulisan. Membaca, mengamati, mendengarkan, memaknai symbol dan perilaku merupakan tahapan sebelum menulis. Banyak membaca akan sangat membantu memperluas cakrawala dan perbendaharaan kata. Saat menulis itulah produk tulisan tercipta, yang sebelumnya masih diangankan dan ada dalam fikiran, menulis merupakan bentuk nyata dari apa yang telah kita fikirkan. Menulis bisa cepat bisa juga lambat tergantung tingkat kesulitan, motivasi diri, alat dan media untuk menulis. Setelah jadi tulisan kita langkah terakhir adalah mengedit tulisan. Penting mengedit tulisan karena salah huruf bisa jadi salah pemaknaan. Substansi yang akan disampaikan penulis bisa jadi tidak langsung bisa dipahami pembaca karena kesalahan teknis menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

  Tumpukan masalah yang menggelayut di madrasah kami tidak sedikit. Stigma guru yang belum berkualitas, pembelajaran yang monoton, siswa mal...